Image Schadenfreude. Senang melihat orang lain menderita. Sumber gambar BerlinRomExpress, 20 May 2012, pada https://berlinromexpress.com/2012/05/20/galli-della-schadenfreude/.
“Schadenfreude” adalah sebuah kata Jerman bentukan dari dua kata benda “Schaden” dan “Freude” yang masing-masing berarti “bahaya” atau “kerusakan” (Inggris: “harm” atau “damage”) dan “kegirangan” (Inggris: “joy” atau “pleasure” atau “delight”). Jika diinggriskan, Schadenfreude menjadi harm-joy. Kata benda gloating (atau glee) dalam bahasa Inggris juga mengungkap hal yang sama. Apa makna kata gabungan Schadenfreude?
“Schadenfreude” dipakai dalam psikologi untuk mengacu ke kondisi mental negatif seseorang yang bergembira dan senang bahkan tertawa terbahak-bahak kegirangan ketika dia melihat seorang lain sedang tertimpa azab atau duka atau mengalami keadaan sial atau bahaya atau petaka. Ada psikolog yang melihat “Schadenfreude” sebagai sisi gelap kodrat manusia.
Sikap “Schadenfreude” ini bukan sikap “bawah sadar” (meski bisa!), tetapi suatu sikap yang sangat disadari. Bahkan dalam banyak kasus, “Schadenfreude” sengaja diciptakan untuk berbagai tujuan, khususnya dalam pertarungan politik untuk mencemooh, melecehkan, merendahkan dan menjatuhkan pamor lawan di muka umum dengan cara-cara licik dan melawan hukum. Atau sebagai suatu tindakan pembalasan dendam karena iri hati dan kedengkian.
Ilustrasi yang terlampir di atas memberi sebuah contoh gamblang apa itu “Schadenfreude”. Si anak bertanya ke ayahnya, “Ayah, sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan Schadenfreude?” Ketika sang ayah bersiap-siap menjelaskan, “Ehem... begini anakku...”, tiba-tiba sebuah pot bunga jatuh dari atas dan menimpa kepala sang ayah.... bleeetaaak.
Tentu saja sang ayah puyeng seribu satu keliling. Sakit sekali. Untung tidak sampai kelengar atau gegar otak. Nah, di saat sang ayah sedang kesakitan luar biasa, si anak malah melihat kejadiannya lucu. Si anak tertawa terbahak-bahak tak bisa ditahan, tidak punya empati sama sekali terhadap ayahnya sendiri. Satu kata saja: Sinting! Pertanyaan si anak telah dijawab sendiri olehnya tanpa disadarinya! Ketimbang jatuh kasihan lalu mendekap sang ayah sambil satu tangannya memijat-mijat kepala sang ayah, si anak malah memperlihatkan perilaku “Schadenfreude”.
Kita semua mungkin pernah terserang “Schadenfreude”. Bergembira melihat orang lain susah; susah karena macam-macam penyebab, misalnya sakit atau terkena musibah tak terduga; atau susah karena kita sendiri yang sengaja membuatnya susah.
Kita belum menjadi manusia kalau “Schadenfreude” masih ada pada kita hingga dewasa, betapapun penting atau tinggi kedudukan kita dalam masyarakat, dan betapapun kita sangat kaya raya.