Kapolri Jendral Tito menyatakan bahwa para pelaku teror bom bunuh diri Kampung Melayu, Rabu malam, 24 Mei 2017, mengalami problem psikologis.
Terkuak sudah, dua pelakunya berasal dari jaringan radikalis takfiri Jemaah Ansharut Daulah atau JAD, yang berafiliasi dengan ISIS. Masalah mengapa orang jadi teroris, bukan pendidikan dan pekerjaan (kategori kaya atau miskin, tidak menjadi faktor penentu; begitu juga tingkat pendidikan), tapi psikologi. Tegas Tito, “Psychology is a matter.”
Orang yang jiwanya tidak tegar, lemah, rapuh dan submisif, paling mudah direkrut jadi teroris. Sebaliknya, orang yang cerewet, terus kritis bertanya balik, penuh selidik, tidak mau tunduk pada kemauan si pencuci otak, ditinggalkan oleh si perekrut./1/
Jelas, faktor psikologi individual dan komunal ikut berperan signifikan dalam aksi-aksi bom bunuh diri yang dilakukan para teroris.
Neurosaintis dari Universitas Oxford, Kathleen Taylor, sekian waktu lampau, telah menyatakan bahwa para ekstrimis religius yang beranekaragam jenis itu “dapat diperlakukan sebagai orang yang sedang mengalami gangguan mental.”
Kathleen Taylor wanti-wanti mengingatkan bahwa "Seseorang yang, misalnya, telah menjadi radikal dalam menganut ideologi suatu sekte, tidak dapat lagi kita pandang sebagai seseorang yang dari kehendak bebasnya yang murni telah menentukan pilihan pribadinya, tetapi kita dapat mulai memperlakukannya sebagai orang yang sedang mengalami sejenis gangguan mental. Dalam banyak segi, jika ini sikap kita, sikap kita ini dapat menjadi suatu hal yang sangat positif, berhubung, tak diragukan lagi, ada kepercayaan-kepercayaan dalam masyarakat kita yang telah menimbulkan sangat banyak kerusakan. Orang-orang yang menganut kepercayaan-kepercayaan semacam ini akan dapat diobati."/2/
Lewat indoktrinasi intensif dan kegiatan cuci otak atau “brainwashing” yang menggunakan tekanan psikis, penyiksaan ragawi, dan tipu daya, serta janji-janji pembebasan dari penderitaan dan tirani dan kemiskinan, orang-orang yang rentan semacam yang telah digambarkan di atas itu mudah sekali direkrut jadi teroris dalam berbagai gerakan dan aksi.
Indoktrinasi yang masif dan intensif, yang dilakukan dengan segala cara yang tidak membuka peluang apapun untuk orang bertanya, meragukan dan menolak, akan mengubah total isi dan cara kerja otak para korban, selanjutnya juga bermuara pada perubahan drastis watak dan perilaku. Inilah kengerian dari apa yang dinamakan cuci otak atau “brainwashing”.
Para neurosaintis dan psikolog sosial sudah lama mempelajari cuci otak sebagai sebuah kegiatan propaganda yang berbahaya dan keji, yang merampas dan mematikan kebebasan dan hak setiap orang untuk menentukan jalan kehidupan, tindakan dan isi pikiran mereka sendiri.
Kathleen Taylor dikenal khususnya lewat bukunya yang berjudul Brainwashing: The Science of Thought Control (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2004; edisi paperback 2006). Perhatikan pernyataannya berikut ini tentang “brainwashing” atau cuci otak./3/
“Pada intinya cuci otak adalah suatu ide yang sangat jahat, yang didasarkan pada impian untuk sepenuh-penuhnya mengontrol pikiran manusia, yang mempengaruhi kita semua dengan cara-cara tertentu.