Indonesia sebagai Negara yang kental akan seni dan budaya nya memiliki potensi yang besar untuk di kembangkan kearah pariwisata berbasis budaya, yang tidak hanya mementingkan eksploitasi kearifan seni dan budaya lokal untuk pendapatan devisa yang bersifat quick yielding, tapi juga mementingkan keberlanjutan dari seni dan budaya local tersebut demi menjaga autensitas, pariwisata sebagai industri komersil, berbeda dari industri-industri lain yang mempunyai bahan baku terbatas, pada sektor pariwisata bahan baku nya tidak akan pernah habis.Â
Dalam buku Komersialisasi Seni dan Budaya dalam Pariwisata oleh Oka A Yoety yang di tulis pada 1982, pada dua dekada terakhir (1960-1970) industri pariwisata telah di golongkan sebagai industri yang tidak mengeluarkan asap, yang dapat menciptakan kemakmuran melalui pembangunan komunikasi, transportasi dan ekonomi, yang kedepan di harapkan dapat menurunkan angka penganguran,Â
serta banyaknya program yang di rencakan dalam kurun waktu perencaan pariwisata di tahun 1960-1970, tidak di barengi dengan pertimbangan secara matang, apakah keuntungan yang di peroleh lebih besar dari akibat yang mungkin ditimbulkan, dalam hal ini proyeksi pariwisata sebagai penggerak ekonomi tidak sejalan dan seiringan dengan komitmen dari landasan hukum yang melindungi aspek seni dan budaya dalam pariwisata,Â
sehingga timbul rasa di benak saya bahwa komersialisasi seni dan budaya dalam pariwisata ini sudah terlalu melewati batas, dalam World Tourism Conference tahun 198 di Manila, Penyair Malaysia Cecil Rajendra telah memprediksi pariwisata kedepan melalui sajak puisi yang menjabarakan pengaruh egatif yang di timbulan pariwisata sebagai suatu "industri", sajak nya sbagai berikut:
When the tourist flew in
Our men put aside
The fishing neets
To become waiters
Our women become whores
When the tourist flew in
What culture we had