Setelah pemilu, kita melihat euforia kemenangan, bagi caleg yang berhasil meraup suara rakyat, sebagai pemenang kebahagian mengekspresikan dirinya , terlihat jelas. Berbagai kegiatan menyambut kemenangan dihadirkan bahwa mereka berhasil.
Pasangan Prabowo -Gibran di depan tim pendukungnya, terlihat banyak senyum, begitu juga mereka yang merasa memilih pasangan itu sangat bergembira, terus menerus mengikutinya lewat media sosial dengan sebentar melihat gadget, berbagai aplikasi di Hp mereka. Pendukung yang setia, di rumah saya anak-anak dan saudara terus membicarakan pasangan Prabowo Gibran para youtuber dan komentar-komentar terus diikuti sehingga muncul berbagai angle romantisme antara Prabowo dengan Mbak Titik mantan istrinya menjadi berita hangat di medsos, banyak netizen mengharapkan mereka rujuk untuk Kembali menjadi pasangan Presiden dan Ibu Negara. Usaha netizen demikian besar agar masa romantisme dulu dirajut kembali.
Banyak yang berharap agar kisah perpisahan yang tetap single setelah berpisah 26 tahun sebagai sisi kesetiaan , kata bijak cinta sejati pun berhamburan untuk Sosok Prabowo dan Mbak Titiek Soeharto. "Jika Anda mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika dia kembali, dia akan selalu menjadi milikmu. Jika tidak, dia tidak akan pernah menjadi milikmu. Begitulah pesan netizen yang mengutip kata bijak Kahlil Gibran.
Di samping kebahagian, ada juga rasa sedih, dan stres bagi caleg yang gagal. Biaya yang telah dikeluarkan demikian tinggi, dan sangat mahal. Ada  di desa saya menjual mobil sampai 6 dan tanah warisan untuk membiayai pesta rakyat ini, agar bisa nyaleg dan berharap menang, dengan berbagai cara merayu pemilih, entah memberikan sumbangan bangunan di desa, atau dalam bentuk biaya -biaya lain selama kampanye, "sima krama" atau dalam serangan fajar yang senyap dengan berbagai trik agar tak kelihatan. Semua itu bercampur aduk, antara harapan dan kenyataan setelah pemilu yang tidak sesuai dengan harapan. Para caleg yang kalah, kini bengong, pusing tujuh keliling, karena muncul berbagai tekanan, sehingga memicu munculnya "election stress disorder" atau gangguan stres pemilu. Meskipun gangguan ini bukan merupakan diagnosis kejiwaan resmi, namun gangguan mental ini nyata adanya.
Di bangkai itu, kekalahan dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental. Mulai dari stres, cemas, depresi, hingga gangguan psikosis.Oleh karena itu, masalah-masalah mental yang dipicu kekalahan saat Pemilu ketika diagnosisnya ditegakkan maka ini termasuk dalam gangguan mental. Gangguannya bisa berkepanjangan dan tergolong disabilitas mental.
Lantas, kalau stress itu tidak dikelola dengan baik dan tepat, itu bisa berkepanjangan. Cemas itu bisa panjang, depresi bisa panjang, psikosis bisa panjang sekali. Maka sebaiknya cepat dikenali dan cepat diatasi agar bisa diberi tatalaksana yang tepat sehingga bisa membatasi lamanya gangguan itu, bisa berujung pada disabilitas mental seperti kondisi yang biasa disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Situasi pemilu, tidak hanya di Indonesia, dimanapun di dunia bisa dianggap cukup menegangkan bagi orang-orang yang terlibat secara langsung. Baik itu sebagai paslon presiden dan wakil, calon legislatif, tim sukses, dan bahkan yang hanya ikut-ikutan mendukung saja. Politik mengubah segalanya; yang dulu kawan sekarang saling serang. Bahkan, dalam suatu berita disebutkan bahwa di suatu daerah ada anak yang menganiaya orang tua setelah selesai menonton debat calon presiden karena berbeda pilihan. Memang dibutuhkan kebesaran hati dan literasi emosi untuk mengendalikan 'kejiwaan dalam situasi pemilu itu.
Jangankan di Indonesia, di AS, yang sudah maju itu juga telah terjadi berbagai stress dan trauma, setelah pemilu presiden berlangsung. Pemilihan presiden AS tahun 2020 misalnya telah meningkatnya ketegangan politik di kalangan pemilih biasa dan elit politik, dengan kekhawatiran akan kekerasan pemilu yang berpuncak pada kerusuhan 6 Januari 2021. Insiden itu terjadi setelah Presiden ke 45 AS Donald Trump itu mengadakan apel besar bagi para pendukungnya dan menuduh tanpa dasar atas adanya kecurangan dalam pemilihan 2020., setelah itu gerombolan pendukung Donald Trump menyerbu gedung parlemen Gedung Capitol,salah satu simbol demokrasi "Negeri Paman Sam" Serangan itu mengakibatkan lima kematian dan dakwaan terhadap lebih dari 700 orang.
Timothy Fraser dkk, dalam artikel yang berjudul Election-Related Post-Traumatic Stress: Evidence from the 2020 U.S. Presidential Election Published online by Cambridge University Press: 15 May 2023, mereka , berhipotesis bahwa pemilu tahun 2020 menimbulkan trauma bagi sebagian pemilih, sehingga menimbulkan gejala gangguan stres pascatrauma (PTSD= producing measurable symptoms of post-traumatic stress disorder) yang dapat diukur.
Lalu dia juga berhipotesis bahwa sentimen negatif terhadap pihak lawan berkorelasi dengan PTSD. Mereka mengukur PTSD menggunakan versi PCL-5 yang dimodifikasi, alat penyaring PTSD yang tervalidasi, untuk 573 orang dari sampel YouGov yang mewakili secara nasional.