Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fenomena Amfifilik Jokowi antara Depolarisasi dan Pragmatisme Politik

25 Oktober 2023   22:29 Diperbarui: 25 Oktober 2023   23:26 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber  : Fb- Presiden Joko Widodo 

Ibarat menabuh genderang yang  semakin bertalu-talu untuk menyambut pesta akbar pemilu 2024. Suara genderang muncul, karena  para  kandidat dan elit politik membangun semacam tarian-tarian dan drama untuk  berpentas.  Suasana semakin ramai, drama-drama mereka, sejurus  mengatur strategi, untuk membuat peluang semakin besar  dilirik sang rakyat. Rakyat adalah mulut yang menjadi bisu karena diambil suaranya waktu pemilu, itulah yang selalu  berlaku.

Rakyat  antusias dan melongo, lalu bisu  menyaksikan berbagai peran hadir dalam narasi cerita itu. Para politikus berserta janjinya kerap tak pernah  hadir nyata, namun menjelma menjadi "sosok -sosok yang kerap membual, palsu dan semu.  Mendekati kebenaran bahwa   politisi semuanya sama. Mereka berjanji untuk membangun jembatan, meski tidak ada sungai." tulis  Nikita Krushchev. 

Paradok pesta kerap menghasilkan kerusuhan, karena mabok kemenangan di satu pihak dan tidak terima kekelahan di pihak yang lain. itu kerap terjadi, entalah apakah karena kita lama dijajah  sehingga politik  divide et impera (pecah dan kuasai) sudah  bersemai dalam jiwa kita, ketika kita  masih dalam bentuk  janin. "Predikat " masyarakat yang mudah "amuk"  sudah biasa.  

Melihat fenomena itu, yang sering terjadi, Joko Widodo, Presiden kita, ingin hadir sebagai penyeimbang tidak ada di satu kutub, maka proses depolarisasi diperankannya dengan apik, telunjuknya merangah ke semua kutub. 

Fenomena ini  dapat dijelaskan , meminjam konsepsi kimia permukaan, maka ada molekul amfifilik , yang diperankan oleh Joko Widodo, sebuah model penggambaran secara mikroskopis dalam ranah ' kekimiaan' dalam kehidupan politik nasional Indonesia saat ini.

Molekul amfifilik, adalah molekul besar yang memiliki satu ujung dengan gugus polar terlampir dan ujung lainnya dengan kelompok nonpolar digambarkan sebagai molekul amfifilik. Dia menjadi perekat  campuran, air dan lemak. Supartan adalah contohnya, Jokowi ibaratnya molekul itu dalam dunia perpolitikkan di Indonesia, sebagai senyawa itu yang dapat membantu pembentukan emulsi kebangsaan menjadi  stabil. Jokowi berperan sebagai Surfaktan yang mengurangi tegangan antar muka antara kubu-kubu partai politik. Karena sejatinya melakukan fungsi itu untuk menurunkan ketegangan minyak dan air dengan meng adsorpsi antarmuka cair-cair.

Jokowi tetap biasa saja, damai dan tenang, dia membuat anak-anak nya mandiri, sebuah model gaya mendidik Keluarga yang menarik, dan terpapar ke public, kita bisa cermati bahwa dengan mendorong anak-anak bebas tumbuh dengan kebebasan yang bertanggung jawab, membuat layak dicontoh kalau ingin melahirkan pemimpin.

Jokowi dampak sejalan dengan kata orang bijak, "Seseorang yang tidak bisa bertanggung jawab atas dirinya dan masa depan sendiri, maka tidak akan bisa bertanggung jawab atas diri dan masa depan orang lain."Kita menjadi bijak bukan karena pengalaman masa lalu, tetapi karena tanggung jawab akan masa depan.

Jokowi tetap bekerja dan bekerja, walaupun aneka berita dan opini berhamburan di media online dan para influencer juga berkomentar baik pada jago mereka masing-masing, ada juga yang selalu menebar ketakutan, dengan asumsi-asumsi yang kerap bias paralaks, belum dicoba sudah ' dijustifikasi dengan tak mampu, dan lain sebagainya.

Drama tarian itu sangat menarik, yakni pertama, drama Mahkamah Konstitusi menjadi  Makamah Keluarga, karena memuluskan keponakannya agar bisa maju menjadi cawapres. Jokowi diduga melirik MK, untuk memuluskan jalan Gibran masuk ke cawapres. Benarkah? Entalah, masyarakat sesungguhnya  ga perlu berteriak, dan beropini luas, kalau memang tidak suka, muak dan lain-lain, jangan pilih , selesai, toh  anda tidak dipaksa untuk memilih kandidat yang jalur bay pas , sekali lagi   cukup jangan dipilih kalau memang itu, benar  di lakukan oleh Gibran dan Jokowi, semua itu kembali  pulang ke hati kita masing-masing.  Keputusan MK  itu memang janggal, namun demonstrasi mahasiswa tak menyambut keputusan itu, Artinya generasi muda sudah melek atau masa bodo, toh generasi muda diuntungkan kah atau ada sebab lain, semua tidak tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun