Jenis kedelai yang pertama kali digunakan untuk membuat tempe adalah kedelai hitam yang merupakan tanaman asli. Hal ini kemudian berubah dengan impor kedelai putih/kuning dan munculnya industri tahu di pulau tersebut.
GAMMA ASAM AMINO BUTIRAT (GABA) Pada tempeÂ
Tempe adalah salah satu produk fermentasi cetakan yang paling banyak diterima dan dipelajari, dan mengandung asam -aminobutyric (GABA) tingkat tinggi, asam amino bebas dan peptida lainnya. GABA adalah asam amino nonprotein yang ada di mana-mana dan diproduksi terutama oleh -dekarboksilasi asam glutamat yang dikatalisis oleh enzim glutamat dekarboksilase (Brown dan Shehelp, 1997). Asam glutamat adalah salah satu asam amino yang paling banyak terdapat pada kedelai.
Kandungan GABA pada tempe cukup bervariasi dan dipengaruhi oleh strain spesies Rhizopus dan kondisi fermentasi. Sebagai contoh, kandungan GABA adalah sekitar 30 mg/100 g kedelai fermentasi kering pada kedelai yang difermentasi secara aerobik menggunakan Rhizopus microsporus var. oligosporus IFO 8631, sedangkan budidaya secara anaerob sekitar 370 mg/100 g berat kering. Di antara strain spesies Rhizopus yang berbeda, R. microsporus var. oligosporus IFO 32002 dan IFO 32003 menghasilkan jumlah GABA tertinggi, masing-masing 1740 mg dan 1500 mg/100 g kedelai fermentasi kering (Tabel 22.2) (Aoki et al., 2003b).
TEMPE UNTUK MENINGKATKAN DAYA KOGNITIFÂ
Tempe yang difermentasi dengan Rhizophus  oligosphorus, ternyata dapat berkolaborasi dengan berbagai mikroorganisme lain seperti  Lactobasciklus  dan Lactobacillus dari filum Firmicutes, terbentuk dari tempe proses perendaman, sangat penting dalam pencernaan membentuk sintesis berbagai senyawa aktif yang berperanan bagi Kesehatan manusia.  Ada beberapa penelitian yang menunjang kesimpulan itu antara lai :
Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia yang kaya akan probiotik dan bermanfaat untuk fungsi kognitif (Stphanie et al., 2017; Stephanie et al., 2018). Sebuah studi oleh Handajani et al. (2020) menemukan bahwa intervensi pemberian 100 gram tempe meningkatkan fungsi kognitif pada lansia dibandingkan kontrol. Namun, dalam penelitian tersebut, belum diketahui jenis probiotik yang berperan dalam peningkatan kognitif dan jumlah probiotik yang dibutuhkan untuk manfaat peningkatan fungsi kognitif.
Konsumsi probiotik secara oral dapat mengubah GM dengan meningkatkan keragaman dan jumlah mikroba yang bermanfaat, menyebabkan perubahan dalam produksi turunan probiotik, mengurangi peradangan, mengubah fungsi sumbu HPA, dan mengubah integritas penghalang usus (Plaza-Diaz et al., 2019) . Oleh karena itu, dengan memanfaatkan GBA, probiotik dapat memberikan peluang untuk modulasi sistem saraf pusat (SSP) dan berfungsi sebagai terapi tambahan untuk beberapa kondisi terkait SSP (Genedi et al., 2019). Wang dkk. (2020) dan Yang et al. (2020) juga menyatakan bahwa probiotik dapat mengubah disbiosis usus dan mikrobiota, meningkatkan penurunan fungsi kognitif, menurunkan kadar A di hippocampus (terkait dengan patofisiologi AD), menjaga integritas dan plastisitas struktur saraf, dan mengurangi trimetilamina-n-oksida (TMAO ) sintesis dan peradangan saraf. Park dkk. (2020) menunjukkan bahwa L. fermentum memberikan efek menguntungkan pada pengaturan respon imun dan dapat memberikan peningkatan kesehatan, termasuk kognisi. Penelitian lain menyatakan bahwa L. fermentum menghasilkan neuromodulator yang berperan dalam meningkatkan fungsi kognitif dengan cara menghambat aktivitas acetylcholinesterase (AChE) (Musa et al., 2017).
Penelitian terus dilakukan  untuk mengetahui seberapa besar manfaat pemberian probiotik yang berasal dari tempe bagi lansia dengan gangguan kognitif. Penelitian dilakukan dalam dua tahap: pertama, dengan mengisolasi jenis bakteri yang aman dan bermanfaat, kemudian memberikan probiotik tersebut dalam dua konsentrasi berbeda kepada lansia dengan gangguan kognitif. Temuannya adalah  Skor kognitif dasar untuk masing-masing kelompok tercantum dalam Tabel 2. Setelah 12 minggu intervensi, penelitian ini menemukan peningkatan dalam domain kognitif memori, kefasihan verbal, dan proses belajar pada kelompok A, dan peningkatan dalam visuospatial, memori, dan verbal. domain kognitif kelancaran pada kelompok B. Hanya peningkatan fungsi memori yang ditemukan pada kelompok Kontrol. Peningkatan proses pembelajaran hanya terjadi pada kelompok A (lihat Tabel 4). Dapat disimpulkan bahwa intervensi probiotik dapat meningkatkan fungsi kognitif memori, visuospasial, dan kefasihan verbal (p < 0,05), dengan peningkatan proses pembelajaran lebih terlihat pada kelompok intervensi A
Hasil penelitian ini menegaskan kembali bahwa peningkatan fungsi kognitif saat mengkonsumsi tempe disebabkan oleh kandungan mikrobiota dan probiotik pada tempe. Pada penelitian sebelumnya, konsumsi tempe selama 6 bulan diketahui dapat meningkatkan fungsi kognitif secara signifikan pada kelompok populasi lansia dengan gangguan gangguan kognitif ringan (MCI) (Handajani et al., 2020). Penelitian pada hewan menemukan bahwa ekstrak dari tempe bisa mempengaruhi fungsi otak melalui perannya dalam gastrointestinal sistem (Hamad et al., 2016; Kridawati et al., 2020). Di sebuah studi perbandingan pemberian tempe dan susu kedelai selama 28 hari, Stephanie et al. (2018) menemukan bahwa tempe konsumsi termodulasi mikrobiota usus, meningkatkan jumlah Bifidobacterium dan A. muciniphila.
Meskipun tempe berasal dari fermentasi Rhizopus oligosporus, jenis bakteri lain banyak ditemukan dalam tempe dapat bermanfaat. Dalam penelitian ini, diisolasi dan Bakteri yang teridentifikasi adalah L. fermentum. Ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Radita et al. (2017) dimana