Tengah malam itu, desau angin selatan terasa dingin, sebab dia mengular di antara pohon cemara dan cengkeh bak pagar di lereng bukit. Habis turun hujan , yang mengguyur bukit, hembusannya terasa berat dan padat penuh uap air. Lembab terasa menyentuh kulit. Suhu dingin itu seakan menggigit kulit, dan menusuk tulang-tulangku.
Namun dinginnya tubuh tetap dihangatkan oleh seberkas senyummu yang selalu menawan hati, yang hadir terserak dalam kisi-kisi hati terdalam. Kusadari itu tak pernah usang, walaupun hari terus silih berganti .
Seberkas cahaya menerpa bibirmu yang tersenyum itu, terus terbayang olehku, beradu dengan senda gurau yang kadang bisa membangkitkan gairah malam dalam selimut kabut di depan rumah, dan masih terasa renyah dari remahan kalbuku yang terus merindu, Kalbuku berkeping bak berserak rindu ditepian ruang yang semakin sunyi dan digelut malam.
Disana kerinduan terus diulas dalam bait-bait rindu, untuk menghasilkan Simponi malam, menerawang diantara bebukitan yang kina mempesona asa.
Suara belalang tak bisa terbungkam, dia sedang bersaut-sautan dalam jejak aksara malam, bersenandung harmoni, malam memaksanya untuk terus bernyanyi, memanggil pasangannya untuk beradu rindu terlihat dari pancaran indah dari manik kerlip bola matanya tersentuh sinar rembulan malam. Dia adalah cermin, asrat yang sama terjadi dalam benak-benak manusia yang lagi penuh romantisme hidup.
Setiap kedipan cahaya matanya terpantul dibarengi dengan lirikan seakan membutakan mata hati pasangannya, tergoda, jatuh dalam cengkraman untuk saling balas aksi reaksi dalam dalam koridor kerinduan.
Malam yang indah ini, Kembali membawaku ke masa silam, guratan kenangan hadir kembali, terkuak dalam sebuah rintihan, disana seakan menjadi penghibur, Karena indah wajahmu menghiasi hari menjadi bunga mekar di taman yang lapang dalam hati ini, seiring dengan merekahnya Senyum manismu meluluhkan hati.
Ketika itu tiada hari demi hari terasa sepi, harapanku adalah Tetaplah menjadi penenang hati, sebab bagiku kau begitu berarti
Kenangan itu hadir menghibur hatiku, dia menjadi narasi indah dalam benak dan bercerita bahwa kita pernah selalu bersama menyusuri jalan, sampai di suatu tempat yang sunyi, hanya ada suara angin dan deru gelombang laut menyentuh bibir pantai.
Rambutmu yang terurai itu terus menjadi kenangan indah, walau engkau kini tak ada disampingku, namun malam ini seakan kamu berada didekatku, ikut bersuara beradu dengan suara belalang malam yang merdu.