Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Lebih Dekat dengan Biodiesel dari Minyak Jelantah

31 Januari 2022   23:21 Diperbarui: 2 Februari 2022   04:13 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Minyak goreng harganya  meninggi, walaupun demikian minyak goreng bekas masih bisa digunakan untuk bahan baku biodiesel, seiring dengan usaha pemerintah untuk mencari alternatif sumber energi terbarukan . Minyak bekas atau jelantah (cooking oil) mendapat tempat untuk dibuat biodiesel berbiaya murah.

Mengapa demikian?  karena Produksi biodiesel  dari minyak nabati murni melalui transesterifikasi lebih tinggi harganya daripada bahan bakar fosil, karena biaya bahan bakunya yang tinggi.

Terobosan mencari bahan baku murah terus diupayakan, dalam hal ini banyak peneliti sedang gencar melirik 'minyak jelantah itu"  Untuk meminimalkan biaya biofuel,

Ada  satu hal yang perlu diperhatikan reaksi   agar   cepat berlangsung,   bilamana menggunakan katalis, demikian juga halnya pada produksi biodiesel.   Katalis yang digunakan dalam proses  produksi biodiesel  biasanya asam, basa, dan  enzim lipase.

Karena katalis lipase jauh lebih mahal ongkos produksinya, maka  penggunaan lipase dalam produksi biodiesel terbatas, masih dalam taraf penelitian.  Dalam kebanyakan kasus, NaOH digunakan sebagai katalis basa, karena biayanya yang rendah dan laju reaksi yang lebih tinggi. Dalam kasus minyak jelantah yang mengandung persentase asam lemak bebas yang tinggi, katalis basa bereaksi dengan asam lemak bebas dan membentuk sabun melalui reaksi saponifikasi.Kalau sudah demikian, produksi biodiesel belum efisien. 

Dalam tulisan ini, saya mencoba  menelusuri  berbagai parameter yang mempengaruhi proses produksi biodiesel   seperti laju reaksi, konsentrasi katalis, suhu, kecepatan pengadukan, jenis katalis, alkohol yang digunakan, rasio alkohol terhadap minyak, kadar asam lemak bebas, dan kadar air , harapannya satu semoga pembaca dapat mengambil ikmah dari ringkasan ini, sehingga dapat teinspirasi untuk melakukan sesuatu khususnya dalam produksi "biodiesel' berbahan baku minyak jelantah.

Apa yang dimaksud minyak jelantah ? 

Minyak goreng bekas  juga dikenal dengan nama minyak jelantah, adalah minyak kelapa atau sawit yang telah digunakan untuk menggoreng, biasanya digunakan maksimal 2 kali, sebab minyak jelantah yang digunakan berkali-kali  dapat mengalami oksidasi  oleh panas, sehingga dapat memicu timbulnya radikal bebas. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa  minyak goreng bekas merupakan minyak yang berasal dari sisa minyak penggorengan bahan makanan.

 Minyak goreng bekas maupun minyak nabati yang baru tersusun atas gliserida yang mempunyai rantai karbon panjang, yaitu ester antara gliserol dengan asam karboksilat. Perbedaan minyak goreng bekas dengan minyak nabati yang baru terletak pada komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuhnya. Minyak goreng bekas memiliki kandungan asam lemak jenuh lebih besar dari minyak nabati yang baru. Hal ini disebabkan pada proses penggorengan terjadi perubahan rantai tak jenuh menjadi rantai jenuh pada senyawa penyusunnya.  Hasil analisi  I.G.B.W. Kusuma,, (2003)Komposisi asam lemak tak jenuh minyak jelantah adalah 30% sedangkan asam lemak jenuh 70% .

Perlu diketahui bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang mencatat permintaan minyak goreng sawit, terutama dari kalangan rumah tangga cenderung meningkat setiap tahun. Artinya peningkatan terus terjadi

Misalnya, 2020 saja, permintaan minyak goreng meningkat sebesar 17,35 juta ton atau 3,6%, lebih banyak dari tahun sebelumnya sebanyak 16,75 juta ton. Hal ini disebabkan  meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap minyak goreng. Pada 2019 saja, tercatat  bahwa  konsumsi minyak goreng rumah tangga sekitar 2,43 juta ton. Pada tahun 2019  konsumsi minyak goreng rumah tangga telah mencapai 13 juta ton atau setara dengan 16,2 juta kiloliter/tahun. Kondisi ini lantas menjadikan Indonesia sebagai peringkat pertama dengan tingkat konsumsi minyak goreng terbanyak di dunia, diikuti oleh India, China, dan Malaysia. Lalu residu minyak goreng sawit  tentu juga meningkat yaitu minyak jelantah (used cooking oil/UCO) juga banyak ditemukan. Berdasarkan kajian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Traction Energy Asia memperkirakan, dari konsumsi 13 juta ton minyak goreng, ada produksi minyak jelantah hingga 3 juta ton. Di mana 1,6 juta ton diantaranya didapatkan dari rumah tangga perkotaan besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun