Kisah yang selalu  menyentuh hati, hingga masyarakat membuat tanda. Bahwa mereka masih ada dan nyata. Tanda itu diyakini sebagai bentuk petilasan hingga kini masih menjadi saksi bisu, bahwa  Romeo dan Yuliet  dari Buleleng Bali, Jayaprana dan Layonsari terus melegenda hingga kini.
Memandang petilasan Layonsari di bawah pohon asam di Banjar sekar Desa Banjar, Buleleng, masih terasa getar-getar duka lara. Seberkas kerinduan memancar entah sampai kapan?
Petilasan itu seakan bertutur bahwa kerinduan seorang wanita muda yang sedih ditinggal suaminya saat kebahagiaan dipuncak ekskalasi kehidupan, adalah elegi yang diakibatkan oleh tirani kekuasaan, yang membuncahkan ego tak menghargai hakikat sebuah cinta, menjadi hikayat yang sulit dilupakan.
Layonsari adalah korban tirani itu, karena kecantikannya seharusnya milik sang penguasa, raja Kalianget ketika itu, namun sayang cinta itu dilabuhkan pada seorang rakyat biasa, yakni I Nyoman Jayaprana.
Layonsari malam itu, ketika suaminya tak datang. Sambil bibirnya terkatup dalam doa. Layonsari membayangkan sosok Jayaprana yang belum sampai juga tiba di rumahnya. Walaupun hari sudah mendekati lewat tengah malam.
Dia pun tertidur lelap, dan bermimpi. Berkelebat bayangan suaminya, Nyoman Jayaprana hadir. Lalu dia mengigau tak sadar. Dia berkata Engkau datang jua dari tadi aku menunggumu,Bli. Sebab aku pikir ketika menghalau  orang asing  yang bikin ulah di pinggiran wilayah Bali barat engkau tersisih dan aku khawatir engkau terbunuh oleh mereka.
Jayaprana tersenyum dan berkata lembut, " jangan bersedih hidup memang selalu menampilkan suka duka, istriku. Hidup, mati pasangannya. Senang sedih, baik buruk. Kehidupan, selalu dibayangi dengan kematian. Kita lahir, dan kita tidak tahu, dengan cara apakah kita meninggalkan dunia ini.
Oleh karena itu selalulah berdoa. Bukankah kematian terlahir dari kehidupan dan bukankah kematian itu sendiri hidup. Engkau tidak perlu bersedih, kalau hari ini kita bersama, mungkin saat berpisah akan datang, entah besok atau hari lain, perpisahan itu selalu menjadi bagian dari pertemuan itu.
Kita berpisah, mungkin karena penyakit, umur tua, kecelakaan, dibunuh orang, atau bunuh diri. Kalau kita tidak dipersiapkan, maka alam memaksa kita untuk bisa berpisah, tentu karena bumi ini membuat kita renta. Lalu renta membuat kita mati walau pelan-pelan.
Istriku, kita lahir sendiri dan pergi juga sendiri. Dunia ini adalah ibarat  ruang tamu. Kita berkumpul sementara, untuk melanjutkan perjalanan kita, menuju kearibaan Ilahi, bersatu dengan-Nya.
Layonsari berkata lirih, Bli, malam ini ditemani suara belalang malam, aku terbangun teringat dirimu, engkau hadir dalam mimpi-mimpi ini, kehadiranmu saat ini menjadi penghias rasa rindu dihati, dalam mimpi membuat hatiku terobati, aku tidak tahu, dan sampai kapan kebersamaan ini terus berlangsung.