Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Hari Raya Galungan Menuju Transformasi Diri

15 September 2020   23:00 Diperbarui: 14 April 2021   13:54 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terbitnya matahari muncul di ufuk timur, tepat pada hari rabu tanggal 16 September 2020, umat Hindu merayakan hari raya Galungan.

Hari raya yang dirayakan setiap 210 hari, sesuai pertemuan tiga elemen, yakni Rabu (sapta wara) dengan keliwon (panca wara), Dunggulan (Wuku). Sintesis ketiga elemen itu, melahirkan momentum yang padat dengan kesucian.

Oleh sebab itu, Hari Raya Galungan dimaknai sebagai kemenangan Dharma (Kebaikan) melawan aDharma (Keburukan). Kemenangan atas pengendalian hawa nafsu, yang sesungguhnya juga berstana dalam diri manusia. 

Itu sebabnya sehari sebelum Hari raya, diadakan penyucian diri, yang dikenal upacara pembersihan 'mabyakala', maknannya adalah penyucian bhuwana agung (makrokosmos) dan buana alit (mikrokosmos, tubuh manusia), yang pada hakikatnya adalah untuk mencapai kesehimbangan lahir bathin.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Umat Hindu merayakan dan menghaturkan puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan YME), sebagai causa prima.

Dengan hati yang tulus, menangkupkan tangan bersembah sujud, bahwa sejatinya kekuatan manusia tidak ada artinya dihadapan-Nya, berserah dengan total surrender' UNTUK menyatukan bakti menuju konsepsi tertinggi "atmaniwidenam" menyerahkan diri sepenuhnya pada keagungan Yang Maha Kuasa.

Perayaan Galungan dalam suasana pandemi Covid-19, sungguh momentum yang tepat untuk merenungi keadaan, mengevaluasi diri, dan meningkatkan kesadaran menjaga sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah agar kita bisa cepat bebas dari pendemi Covid-19.

Dengan selalu bersujud kepada Ida Sanghyang Widhi sebagai Tuhan semesta alam, bahwa manusia wajib berserah dan yakin bahwa "tanpa krida-Nya, tak setangkai rumput pun dapat diterbangkan angin."

Galungan sebagai bentuk perayaan dalam agama Hindu, dikenal juga sebagai "Pawedalan Jagat atau Oton Gumi' tempat kita manusia hidup, dan harus menjaga agar tetap harmoni baik pada lingkungan, manusia, maupun hubungan kita dengan Tuhan. Harmonisasi adalah vibrasi ketuhanan dan hadir disetiap jiwa yang berserah pada-Nya.

Umat Hindu di hari suci Galungan, lebih meningkatkan rasa syukur atau menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya.

Keprihatinan tentu menjadi dasar perayaan kali ini, bahwa kita harus lebih khusuk berdoa, kepada yang maha memberi nikmat. Tuhan yang Maha bijak.

Semoga pandemi yang melanda umat manusia segera berakhir, doa yang tak putus-putusnya, kita panjatkan di hari yang suci ini.

Keyakinan dalam hati haruslah dimunculkan, bahwa bila manusia berdiri seorang diri, ia mudah sekali dikalahkan akan tetapi bila seorang manusia hidup dengan kekuatan Tuhan, di dalam dirinya, ia tidak terkalahkan oleh siapapun.

Oleh karena itu, banyak pengalaman sering bercerita bahwa Tuhan akan selalu mendengar doa kita, Mintalah, kita akan diberi, "Carilah maka kita akan menemukannya, ketuklah maka kita akan dibukakan pintu."

Artinya pada perayaan Galungan kali ini, haruslah mampu membawa diri kita masuk ke wilayah ruang kesadaran kita untuk menjadikan manusia lebih bijaksana menyikapi semua persoalan berbangsa dan bernegara yang terimpit masalah pandemi, untuk saling membantu sesama anak bangsa.

Dalilnya adalah sabar, rendah hati, tulus adalah instrumen jiwa yang penting untuk diterapkan. Semua itu dibutuhkan dalam kehidupan.

Ketika itu terjadi maka Galungan menjadi titik transformasi Jiwa, karena semua tindakan tanpa pamerih adalah tindakan dharma yang menyiapkan jalan bagi persatuan jiwa dengan sang Mahajiwa yang memperluas pandangan menuju dasar Ketuhanan (Brahman) yang ada di mana-mana. 

Setiap tindakan sedemikian adalah arus kecil yang bergegas mengalir lautan "Brahmajnana' (pengetahuan ketuhanan).

Apapun yang dilakukan atas dasar sikap dedikasi dan penyerahan adalah bagian dari dharma yang membawa jiwa menuju kesunyataan.

Dalam merentangkan semangat untuk bisa menang melawan kekacauan pikiran dan kekalutan, yang kerap berkarat dalam pikiran dan hati manusia, tak pelak kita harus lebih sering membersihkannya dengan melakoni kehidupan yang menjunjung keadaan harmoni. 

Dan itu, dapat diperoleh minmal melakukan tiga hal, yakni pertama, pikiran yang tidak dinodai oleh keterikatan dan kebencian. Kedua, perkataan yang tidak dinodai oleh dusta, dan ketiga, tubuh yang tak ternodai oleh kekerasan.

Pun demikian, panca indra yang dihiasi dengan tata kehidupan yang mengutamakan perilaku sopan dan penuh dengan ketenangan dalam menghadapi musibah, sebab musibah adalah pertanda kita sedang diuji oleh-Nya.

Oleh karena itu, pesan baiknya adalah tingkatkan rasa kasih sayang kepada sesama, sebab apapun yang dilakukan, lakukanlah dengan semangat kasih, sebab tanpa kasih semua kegiatan yang dilakukan tidak menjadi suci, hambar, dan menghasilkan pahala buruk.

Ujian-ujian yang dihadirkan-Nya saat ini, memungkinkan kita naik tingkat, ke arah karakter yang lebih kuat, sebab, seperti ungkapan para bijak untuk menghasilkan nelayan ulung, dihasilkan dari samudra yang penuh badai. Atau untuk mempertajam pisau digunakan gerinda keras, bukan dengan spon yang halus. 

Untuk menguatkan umat manusia yang berkarakter, maka cobaan dan ujian selalu dihadirkan untuk membuat manusia berbenah dan kuat. Kalau itu telah dilewati kita menjadi layak, untuk mengatakan diri sebagai pemenang. Menang atas ketidakbenaran, atas keburukan dan kegelapan yang ada dalam diri kita.

Maka dari itu, amanat Hari Raya Galungan itu adalah jika seseorang menolong orang atau mahluk lain, maka dia akan dapat memberi teladan kepada dunia. Ideal itu tidak pernah sirna, tidak akan pernah lenyap. Dari hari ke hari ia akan tumbuh.

Dibingkai itu, muncul pesan bahwa manakala kita memahami sepenuhnya makna Galungan itu akan dituntun untuk mengembankan sifat ideal semacam itu, lebih-lebih generasi muda, sebab usia muda adalah adalah usia keemasan, usia yang suci, usia semacam ini jangan sampai disalah gunakan. Harus digunakan dengan benar. Hanya dengan demikian lah semua pengetahuan akan bermanfaat dan bernilai.

Hari raya Galungan hadir dengan sebuah pertanda, bahwa kita berada dalam suasana pandemi, kesedihan akan adanya "musibah kematian", jeritan kesusahan ada di mana-mana, karena banyaknya mereka kehilanga sumber pendapatan, ekonomi tak berputar sempurna.

Tak pelak, banyak diantara mereka menerobos, hadir tanpa hirau akan ganasnya Covid-19. Perilaku tak elok, muncul dan sering dengan sebuah ungkapan keprihatinan, lebih baik mati karena Covid-19 dari mati kelaparan, sebuah ungkapan frustasi, semakin sering kita mendengarnya. 

Walaupun begitu, kita tak harus menyerah ataupun ragu, kita tak harus masuk karena bayang-bayang fatalisme, yang hanya proses nalar buntu, benak lebih dominan diformat oleh nasib. Pikiran semacam ini perlu mengalami transformasi untuk kehidupan yang lebih baik.

Oleh karena itu, merayakan hari raya Galungan, sesungguhnya ditandai oleh adanya transformasi diri, sehingga dapat mentransformasi kehidupan orang lain. Ibarat ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah. 

Menjadi pribadi yang penuh kasih, suka melayani dan penuh rasa empati atas penderitaan orang lain, lebih-lebih saat pandemi Covid-19 saat ini. Artinya, timbulkanlah kebahagian karena bisa melayani orang lain yang mengalami kekurangan, sebab sejatinya manusia adalah pencipta kebahagiaannya sendiri.

Pada aspek pelayanan, bukan seberapa sering atau banyaknya seseorang telah melakukan pelayanan. Tidak juga diukur seberapa besar sumbangan itu. Tetapi seberapa murni hati kita saat melayani. 

Kita melihat kesatuan dengan orang yang kita layani, bahwa sejatinya antara yang melayani dengan yang dilayani adalah sama (percikan cinta kasih). Saat tumbuh perasaan satu (setara) dengan yang dilayani akan otomatis menekan ego, saat ego mengecil, kesadaran ketuhanan meningkat.

Jika ada perasaan melayani berhubungan dengan jumlah pahala atau karma baik yang akan diterima, mungkin tidak salah (hukum aksi reaksi). Tetapi secara spiritual ada yang lebih halus dari itu, yakni perasaan yang bebas dari pengharapan, hasil, sanjungan, eksistensi, pengakuan bahkan ucapan terima kasih. Saat itu bisa dilakukan, maka pelayanan akan berada di puncak kebebasan (secara spiritual).

Selamat Hari Raya Galungan bagi umat Hindu yang merayakannya. Moga pikiran baik datang dari segala arah, rahayu****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun