Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah, Ajaklah Aku Terbang

6 November 2018   13:00 Diperbarui: 6 November 2018   13:17 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Oh, Yang Maha Ada, izinkanlah aku berdoa, atas kebaikkan yang Engkau berikan padaku, melihat cahaya cemerlang, izinkanlah aku menyentuh debu dibawah kakiMu yang suci, atas kerinduanku pada sosok ayah, yang selalu menjadi bagian inspirasiku, atas keteguhan Hyang Maha Purusa, dengan mengalirkan desiran krida yang maha agung, maka bertemulah zat sukla (kama petak)  menyatu dengan zat swanita (kama bang) melahirkan sebuah zigot kehidupan, yang tumbuh terdiferensiasi dalam bentuk multi selular, menjadikan diriku seorang manusia. Disisi itulah sosok ayah maupun Ibu sangat penting untuk dikenang.

Seorang ayah adalah pemangku rumah, dan mungkin seorang ayah adalah segalanya bagi yang pernah memiliki ayah, namun mereka yang sejak kecil, tanpa ayah, kerinduan-demi kerinduan tak berbalas, imajinasi selalu berada di langit, sampai mereka menemukan sosok pasangan yang mampu bertindak seperti sosok seorang ayah yang meruang diangkasa dan ibu di bumi sebagai pertiwi, Bisakah? jawabannya jamak, Sebab, karakteristik ciptaan adalah unik, sehingga tak seorangpun bisa menemukan sosok yang persis mirip dengan sosok ayah (baik secara genetik maupun fenotifik), karena manusia diciptakan hanya satu, dan tidak ada yang sama, sekalipun mereka kembar. Pada sisi itu, setiap manusia diciptakan dengan limited edition (edisi terbatas), sehingga tak ternilai harganya, oleh karena itu, hargailah kehidupan itu yang hadir pada diri ini, Artinya dalam bahasa indah, dapat dikatakan mereka yang bisa melihat semuanya sebagai berkah, itulah keberuntungan yang paling beruntung.

Analogi suasana pun bisa dinarasikan saat Pandu Dewanata mangkat menjadi titik perenungan yang dalam untuk memberikan sebuah makna yang dalam, betapa hubungan emosional ayah dengan anak-anak mereka sangat menjelimet , berbagai sisi emosi bisa terungkap, sebab manusia yang terbentuk dengan karakteristik multi dimensi menjadi sangat penting, sebab disana kata manusia menjadi bertuah. Kata manusia berasal dari bahasa Sansekerta yaitu manu artinya berpikir dan berakal budi. Atas pikirannya inilah manusia membangun sederet kebudayaan. Dialog antara Yudistira kecil dengan Dewi Kunti ketika menyaksikan Pandu Dewanata mangkat adalah sisi lain yang menarik untuk direnungi.

****
Pagi itu, matahari diselimuti awan berarak, seakan mengkhabarkan kedukaan yang dalam, saat itu terdengar suara tangis tak terperikan, dari balik bilik di pesraman Astina di dalam hutan. Tangisan itu adalah tangisan Dewi Madri, yang kaget dan takut, bahwa Sang Pandu, suaminya terkapar bersimbah peluh dengan wajah pucat pasi, dan nafasnya keras, dan melemah lalu berhenti, dengan tubuh yang kaku, Pandu raja Astina, yang hendak melakukan 'kewajiban sebagai seorang suami' namun gagal melaksanakan tugasnya, meninggal dalam pelukan Dewi Madri.
Mendengar teriakan itu, Dewi Kunti kaget dan berkata, ada apa adikku?  tanya Dewi Kunti, ini sang prabu meninggal, kakakku, aku yang berdosa, telah membuat sang prabu tertarik padaku, padahal aku tahu penyakit Paduka, tidak boleh melakukan hubungan suami istri , karena adanya penyakit bawaan yang bisa membuat jantungnya berhenti. Akhirnya kita semua kehilangan paduka' Kata Dewi Madri sedih.


Lalu, tangis demi tangis seakan bersautan dari anak-anak Pandu. Pandawa lima kerap menangis dan rindu pada sosok ayah yang tak lagi ada disampingnya. Tangisan duka hadir dengan menyayat hati, terasa renyuh dan pedih. Kondisi ini membuat jiwa tak sehimbang, sebagai penyelaras hati, keyakinan keberadaan di alam lain kerap hadir sebagai solusi, Contoh, sebuah kehidupan cahaya setelah kematian, sehingga sulit diukur dan dibuktikan dalam koridor pancaindria manusia yang sangat terbatas

Yudistira dan keempat saudaranya menangis dipangkuan ibunya, mereka silih berganti menanyakan kemana ayah pergi, mereka menyaksikan, Ayah mereka Pandu Dewanata terdiam. Wajah , pucat pasi, telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, beberapa saat yang lalu. Pandu dewa nata mangkat, ditempat tidur, yang didampingi oleh Ibu Madri. Pertemuan mereka ditempat tidur berhujung maut bagi sang Pandu.
Ayah kita, telah mangkat, kata Yudistira kepada keempat saudaranya, mereka tampak diam membisu, Nakula Sahadewa hanya bengong, sambil berkata lirih, ada apa dengan ayah Ibu, tanyanya kepada Dewi Kunti,. Belaiu sedang menuju perjalanan panjang dan mendahului kita semua, karena kita semuanya akan berjalan seperti dia, jawab ibu Kunti sambil meneteskan air mata di pipinya.
Sahadewa bertanya lagi, kalau aku punya uang aku akan cari tempat dimana ayah berada saat ini, aku akan mengejarnya, Ibu Kunti berkata, nak, ayahmu sudah tidak ada didunia ini, ke- hujung manapun kamu cari tidak akan pernah bertemu, pertemuan mu dengan ayahmu, sudah selesai, waktu sudah lewat, hanya waktu dulu, dan tidak ada di waktu --waktu yang akan datang. Dia hanya ada dalam kenangan bathin kita.


Mendengar itu, Yudistira kecil pun ikut menangis meraung, dia menyesali dirinya, bahwa ketika ayahnya masih hidup kadang kenakalan yang ditunjukkan, dan malah jarang mau bersamanya.
Dia menyadari bahwa kehidupan yang indah adalah saat ini, apakah bersama ayah, ibu atau siapapun yang ada, harus disayangi, dia sadar juga bercengkramanlah bahwa hidup itu hanya saat ini ( the present). Artinya nikmatilah hidup ini saat ini, yang lalu sudah berlalu, dan yang akan datang belum pasti.
Ibu, Kata Yudistira,kepada Ibu Kunti. Aku menyesal mengapa selama hidupnya aku tak berbuat banyak untuk membahagiakannya, Yudistira pun berkata lagi, lagi Ibu, Jika aku memiliki kesempatan untuk memilih ayahku, kau akan tetap menjadi pilihanku. Kau adalah ayah terhebat. Aku menyayangimu. Ibu Kunti berkata, walaupun engkau tidak memiliki ayah, namun engkau memiliki Ibu, yang setia merawatmu, ketahuilah anakku bahwa Sepuluh persen dari hidup ini adalah tentang apa yang terjadi pada dirimu. Dan 90% sisanya adalah tentang bagaimana caramu bereaksi terhadapnya, nak?


Dewi Kunti menambahkan, jika engkau terus menyesali diri maka hidupmu tidak akan pernah maju, matahari akan tetap bersinar walaupun dirimu punya ayah atau tidak. Untuk mengusir galaumu. Tersenyumlah di depan cermin. Lakukan setiap pagi dan kau akan mulai merasakan perubahan besar dalam hidupmu. Yudistira memandang ibunya, maafkan aku ibu, kegalauan hati selalu muncul dengan detak jantung yang sungguh berbeda, apalagi mengingat tawa dan membanding anak-anak yang lain hidup dengan keutuhan kedua orang tuanya, kadang aku 'cemburu dengan " mereka, mengapa hidupku begini, hidup tanpa kasih sayang ayah. Ayah selalu memberikan kebahagian padaku ibu, Kata Yudistira .
Dewi Kunti berkata, Nak, Orangtua selalu memiliki kepingan hati untuk memaafkan putra dan putrinya. Karena kepingan itu adalah sumber kehidupan bagi orang tua itu sendiri. Jika sebagian keping hilang, hidup mereka tidak akan pernah bahagia. Dibingkai itu, seseorang yang mencintaimu bukanlah ia yang melihatmu setiap hari, namun mencarimu setiap hari. Aku tahu bahwa kau mencariku setiap hari. Aku menyayangimu, Ayah. Panggilan sebagai seorang ayah tak pernah berakhir, dan nilainya melampaui waktu. Itu adalah panggilan untuk waktu dan keabadian, tambah ibu Kunti
Lalu perlu kamu ketahui anakku, kurangi percaya dengan kata-kata, belajar melihat aura. Caranya, perhatikan bahasa tubuh seseorang. Ia yang menunjukkan minat padamu, seluruh tubuhnya menghadap ke dirimu. Ia yang niatnya baik, tatapan matanya sejuk. Ia yang tulus lebih banyak berbicara menggunakan bahasa tindakan. Jangan tenggelam dalam masa lalu, jangan bermimpi di masa depan, konsentrasikan pikiran pada kejadian hari ini. Kegagalan terjadi dalam hidup kita bukan hanya karena kita tidak memiliki semangat hidup, tetapi karena kita terlalu larut dalam masa lalu dan terlalu khawatir untuk menjalani apa yang akan terjadi di kemudian hari. Hidup bukan masalah untuk diselesaikan tetapi realita untuk dihadapi, anakku, kata Dewi Kunti
Dewi kunti berkata dengan lembut, Yudistira walaupun ayahmu telah pergi, namun dia akan bahagia melihatmu tumbuh menjadi orang yang berguna, sebab kebahagiaan orangtua bukanlah harta yang diberikan anaknya melainkan akhlak, cinta, dan kasih sayang. Itulah konfigigurasi hati yang sedang mengharapkan anaknya dapat menjadi baik.
Yudistira mengangguk, lalu dengan mengusap kepala Yudistira, Dewi Kunti menasehati lagi, kesabaran dapat diibaratkan dengan jaket pelindung bagi manusia. Orang yang mengenakan jaket pelindung ini akan dapat dengan tabah menanggung segala jenis kesulitan, kesedihan, serta penderitaan, dan akan mampu melangkah maju tanpa terpengaruh oleh semua hal itu. Tidak ada kekuatan lain yang lebih besar daripada kekuatan kesabaran. Kesabaran adalah keutamaan yang terpenting bagi manusia
Ku tambahkan lagi kata dewi Kunti, Yudistira, perlu engkau ketahui, Dia yang mampu menguasai orang lain memang kuat. Tapi dia yang mampu menguasai dirinya sendiri, itulah yang lebih dahsyat. Selagi masih kecil seorang ayahlah yang melindungi, dan setelah dewasa suaminyalah yang melindunginya dan setelah ia tua putranyalah yang melindungi, wanita tidak pernah layak bebas (harus selalu dilindungi).disnilah jiwa kita mendapatkan belahannya. "Belahan jiwa adalah ia yang masih melihat benih Cahaya di diri Anda, tatkala semua orang hanya melihat bahaya."
Yudistira terdiam, dia merasakan betpa Ibu Kunti sangat Bijaksana, lalu Dewi Kunti menambahkan, Yudistira untuk mendapatkan penampakan kasih Tuhan itu tidak sulit bila hatimu murni. Sesungguhnya memperoleh kasih Tuhan itu sangat mudah. Engkau tidak dapat mencapai Tuhan karena kurang murni. Engkau harus membuka mata untuk melihat matahari yang cemerlang. Walaupun surya ada di angkasa, bagaimana engkau dapat melihatnya bila matamu kaupejamkan? Demikian pula, engkau harus memurnikan pandangan batinmu. Kemudian engkau akan melihat Tuhan di mana-mana. Namun, hati manusia tertutup rapat oleh kotoran berbagai pikiran yang buruk. Pikiran dan perasaan manusia penuh dengan beragam keinginan duniawi dan jasmani yang bersifat sementara. Perlulah memurnikan hatimu agar dapat melihat Tuhan yang abadi dan selalu benar. Ya ibu, kata Yudistira, jiwaku seperti terbang keangkasa damai, bersama ayah, aku bahagia memiliki ibu yang dapat berfungsi sebagai ayah yang bijak (Undiksha-Singaraja, 6 Nopember 2018)*****

Top of Form

Bottom of Form

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun