Udara pagi dan gerimis menjadi saksi bahwa banyak komunitas memiliki tradisi meneruskan tradisi akademik Plato, seperti yang dilakukannya di Athena, Yunani, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia.
Dalam konsepsi Plato ' sosok yang memberikan atau penyusu ilmu pengetahuan ibarat seorang ibu yang menyusui anaknya, dari konsepsi itulah muncul 'Alma mater ' Mereka yang datang ke komunitas yang menebarkan ilmu, identik dengan mereka yang memiliki waktu luang, atau "scolae, skhole, scola, atau schola" yang kini kita dengar dengan pasih istilah  'sekolah'  mengapa demikian, kata tetua di Yunani dahulu kala para orang tua  untuk mengisi waktu luang anak-anaknya dengan cara mengunjungi suatu tempat untuk mempelajari sesuatu untuk kebutuhan mereka. Di sana mereka bermain serta belajar berbagai hal mengenai kehidupan.
Lantas, seiring waktu, banyak orang tua tidak mampu lagi meluangkan waktunya untuk anak mereka karena kesibukan dengan pekerjaan, maka dititipkan anak-anak tersebut kepada orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan untuk mengisi waktu-waktu luang anaknya untuk bermain dan belajar.
Anak-anak tersebut kemudian diasuh dan diberikan bekal ilmu pengetahuan oleh pengasuhnya. Orang-orang (pengasuh) yang mempunyai ilmu pengetahuan tersebut diberi nama "alma mater" yang berarti "ibu pengasuh" atau "ibu yang memberikan ilmu," yang sampai saat ini kita kenal dengan kata "almamater" dalam berbagai perspektif. .
Lalu dalam persepetif itulah kita perlu merenungkan dialog Dewi Gangga dengan Prabu Sentanu, yang memiliki seorang putra itu , Dewbrata. Dalam diskusi itu perpisahan terjadi dialog yang misterius, dengan sebuah wacana bijak.
Dan Prabu Sentanu, rela menjadi single father untuk mengurus Dewbrata, Bisma, namun, Â anak itu akan dikirim ke Kahyangan untuk mendapatkan ilmu kanuragan menghadapi hidup yang terus bergerak secara dinamis.
Dewi Gangga berkata, bahwa kita lebih  baik berpisahi, dan aku yakini bahwa dengan begitu kehidupan kita malah jadi membaik. Komunikasi dengan mantan juga jadi lebih lancar tanpa beban emosi dan lebih akur , lebih harmonis menjadi teman dari pada menjadi suami /istri. Saat masih terikat hubungan suami istri kita berada dalam ruang teriakan dan jeritan kemarahan.
Tak pelak, Â Isak tangis yang sayup terdengar dari balik pintu yang terkunci, anak kita kerap jadi korban, atas keangkuhan kita, tambah Dewi Gangga.
Prabu Sentanu tak pernah mengerti, dia pasrah, nasib pertemuannya dengan Dewi Gangga hanya sebatas melahirkan bayi, Dewabrata.
Dewi Gangga berkata dengan suara indah, "Setelah kita berpisah dengan kesepakatan bersama, justru mental dan emosi kita jadi lebih stabil. Kita kembali menjadi teman dan partner yang bekerjasama mendidik dan membesarkan Bisma.
Kita bisa bercanda dan saling menopang dengan sehat setelah berpisah. Kita bisa mencapai aktualisasi diri masing-masing dan jadi lebih berkembang.