Mohon tunggu...
I Nyoman Adi Putrayasa
I Nyoman Adi Putrayasa Mohon Tunggu... -

an International Relations Student

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidak Efektifnya Peranan PBB dalam Perdamaian Israel-Palestina

6 Mei 2014   08:51 Diperbarui: 4 April 2017   16:55 23431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik Israel dan Palestina

Konflik Israel dan Palestina menjadi salah satu elemen dasar yang banyak digunakan oleh penstudi hubungan internasional untuk memahami kawasan Timur Tengah yang penuh dengan konflik. Konflik yang berkepanjangan tersebut telah melahirkan beberapa konflik, yakni Perang yang terjadi pada tahun 1948-1949 –oleh Israel dikenal sebagai "Israeli War of Independence" dan oleh Palestina dikenal sebagai "al-Nakba" (Bencana). Dimulai setelah dikeluarkannya rencana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada November 1947 yang mengusulkan pembentukan negara Yahudi di Palestina. Negara-negara Arab –termasuk Palestina di dalamnya, menolak rencana tersebut. Namun di sisi lain, Kaum Yahudi telah menerima rencana tersebut sehingga hal tersebut menjadi pemicu lahirnya konflik. Pada 14 Mei 1948, dengan bantuan AS yang memiliki posisi kuat dalam PBB, Israel berhasil mendeklarasikan pembentukan dan kemerdekaan Israel.

Kemudian, perang juga terjadi tahun 1967 yang dikenal dengan nama Six Day War. Dalam waktu enam hari, Israel berhasil mengalahkan tiga negara tetangganya, yaitu Mesir, Jordan, dan Syria. Akhir Perang Enam Hari, Israel menemukan kepercayaan dirinya, mulai dikenal sebagai kekuatan yang tangguh di dunia, dan mendapatkan wilayah tiga kali ukuran sebelumnya. Selain itu, masih banyak juga konflik senjata yang terjadi antara Israel dan Palestina. Perang antara Israel-Palestina pada dasarnya adalah perang dua kepentingan, land and peace adalah permintaan masing-masing pihak. Kedua pihak saling memiliki kepentingan yang tidak dapat dipenuhi satu sama lain, menyebabkan konflik masih terjadi sampai saat ini, terutama di daerah seperti Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Gohlan.

Peran PBB dalam upaya perdamaian Israel-Palestina

Dalam upaya perdamaian konflik Israel-Palestina, PBB menjadi mediator yang berusaha untuk memediasi kepentingan antara Palestina dan Israel. Selain itu, terdapat banyak resolusi yang dikeluarkan oleh PBB yang mempengaruhi konflik antara Israel-Palestina. Mediasi yang dilakukan oleh PBB adalah usaha diplomatik yang ditujukan untuk penyelesaian konflik Israel-Palestina. Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB 242 dan 338, PBB telah terlibat dalam setiap upaya negosiasi Israel-Palestina, secara tidak langsung. Keterlibatan PBB tersebut telah dimulai sejak tahun 1947, yaitu pemisahan Palestina menjadi Negara Yahudi dan Negara Arab melalui Resolusi 181. Resolusi tersebut ditolak secara tegas oleh negara-negara Arab yang mendukung Palestina. Pasca pecahnya perang awal antara Israel-Arab, kemudian pada 15 juli 1948 melalui Resolusi DK PBB 54 terdapat perintah gencatan senjata untuk semua pihak guna mengakhiri perang, tetapi pada ahkirnya tidak ada yang melakukannya. Israel sendiri menjadi anggota tetap dalam PBB pada tanggal 11 Mei 1949. Palestina sendiri pada saat itu bukan anggota PBB, menganggap bahwa arah resolusi yang dikeluarkan PBB serta negosiasi yang dilakukan lebih menguntungkan Israel. PBB juga mengambil peranan dalam Six Day War 1967, dimana sebuah proposal mediasi dikeluarkan melalui Resolusi DK PBB 242, tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1967. Teks resolusi ini mengacu pada penarikan pasukan militer kedua belah pihak dari wilayah konflik, penghentian semua klaim dan kemerdekaan semua negara yang terlibat. Israel menerima resolusi ini, namun Israel tetap bersikeras bersikap bahwa penarikan pasukan dari Negara yang didudukinya dilakukan melalui negosiasi langsung yang mengesampingkan PBB. Negosiasi langsung ini dibuat Israel demi melindungi kepentingan dan haknya sebagai pihak yang memenangkan Six Day War, Israel beranggapan bahwa jika dilakukan negosiasi dalam PBB maka kepentingan dan haknya akan dibatasi serta akan ada faktor eksternal yang akan mempengaruhi proses negosiasi. Pada proses negosiasi langsung inilah Israel menyerukan permintaanya “Land for Peace” kepada Palestinian Liberation Organization (PLO).

Dari awal konflik hingga sampai saat ini, PBB sering dikesampingkan dalam usaha perdamaian antara Israel-Palestina. DK PBB yang memiliki tanggung jawab utama untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan Piagam PBB, belum mampu untuk mengatasi konflik Israel-Palestina. Beberapa Negara bahkan menggunakan pengaruhnya untuk menjauhkan isu ini dari agenda PBB.Upaya perdamaian konflik Israel-Palestina menjadi lebih sering dilakukan oleh Majelis Umum PBB. Majelis Umum memiliki otoritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan DK PBB sehingga lebih aktif dalam menangani konflik ini. Namun, Majelis Umum masih belum mampu menghasilkan perdamaian diantara kedua pihak karena resolusi yang dikeluarkannya hanya bersifat moral dan simbolik yang tidak mengikat secara hukum internasional. Untuk saat ini, peran PBB di Timur Tengah ditangani oleh Department of Political Affairs (DPA). DPA bertanggung jawab atas kebijakan terhadap proses perdamaian Timur Tengah dan memberikan dukungan dan bimbingan kepada United Nations Special Coordinator for the Middle East Peace Process (UNSCO). UNSCO Berdiri pada tahun 1994, setelah Oslo Accords, dan berfungsi sebagai fokus politik PBB dalam mendukung proses perdamaian di konflik Israel Palestina. UNSCO mempunyai tujuan mempromosikan koordinasi efektif antara Israel-Palestina dan PBB.

Keterlibatan PBB dalam mediasi konflik Israel-Palestina sampai saat ini mendapatkan kesulitan yang nyata dan tantangan bagi PBB sendiri. Tetapi, pada saat ini PBB lahyang menawarkan saluran terbaik dalan upaya perdamaian konflik Israel-Palestina. PBB menawarkan tempat serta sarana mediasi bagi konflik ini, keanggotaan negara-negara Arab dan Israel di PBB merupakan senjata terbesar bagi PBB. PBB membawa upaya perdamaian konflik ini menjadi masalah Internasional yang diperhatikan oleh Dunia Internasional. Perundingan aktor kunci selalu dikedepankan oleh PBB, serta PBB juga menjadi pengawas dalam konflik bersenjata yang terjadi. Pada ahkirnya PBB tetaplah hanya menjadi mediator, PBB berharap dengan dilakukannya banyak diplomasi serta perundingan, oleh karena itu di Israel-Palestina dapat menemukan jalan tengah dan mengahkiri konflik.

Protracted Social Conflict / Konflik Berlarut-larut

Protracted Social Conflict (PSC) adalah istilah dalam sebuah teori yang dikembangkan oleh seorang yang berasal dari Lebanon, merupakan ahli dalam kajian ilmu resolusi konflik, yakni Edward E. Azar. Azar menggambarkan bahwa PSC adalah bentuk konflik yang terutama melibatkan negara berkembang tanpa adanya peluang untuk mencapai penyelesaian. Artinya sebuah konflik yang berkepanjangan atau berlarut-larut sangatlah jauh dari sebuah proses penyelesaian masalah, yang juga menjadi ciri utama kawasan Timur Tengah –terkait yang akan kita bahas mengenai konflik antara Israel dan Palestina.

Seperti yang kita ketahui bahwa kawasan Timur Tengah merupakan sebuah ‘konsep’ yang didirikan oleh negara Barat. Sehingga banyak peninggalan Kolonial Barat yang saat ini berkembang, salah satunya pembagian suatu wilayah ke dalam beberapa komunitas. Hal tersebut akan menimbulkan konflik ketika terdapat salah satu komunitas yang mendominasi disuatu wilayah –dalam hal ini kaum Yahudi yang lebih mendominasi di Palestina.

Azar menyatakan empat (4) klausul utama penyebab terjadinya PSC, yakni Communal Content, Human Needs, Role of Government, dan International Linkage.Dalam communal content, hal fundamental yang harus diperhatikan adalah bagaimana sejarah terciptanya konflik antara Israel dan Palestina, yang salah satunya adalah ketidakstabilan hubungan antara kelompok sosial, dimana negara tidak mampu untuk memberikan atau memenuhi kebutuhan utama masyarakat, yakni terkait dengan identitas, agama, maupun budaya –baik dari kaum Yahudi ataupun Islam dari Palestina. Ketidakstabilan tersebut dikarenakan kawasan Timur Tengah memiliki disparitas identitas, agama, dan budaya. Dari sisi agama dapat dilihat bahwa kawasan tersebut memiliki tiga agama: Islam, Kristen, serta Yahudi. Islam sendiri terbagi atas tiga aliran, Sunni, Syiah, dan Ibadi. Begitupula dengan Kristen sebagaimana kita ketahui meliputi dua agama, Protestan dan Katolik. Tidak mengherankan bila konflik menjadi ciri khas dari kawasan Timur Tengah. Selain itu, konflik tersebut telah meninggalkan luka yang mendalam akibat banyaknya korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak. Hal itu juga menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik yang berkepanjangan.

Selanjutnya, klausul kedua adalah human needs yang juga diungkapkan oleh John Burton. Human needs berbeda dengan national interest apabila kita kaitkan dengan sumber konflik yang berada dalam cakupan sebuah negara. Negara yang memiliki national interest yang berbeda dengan negara lain tidak serta merta menyebabkan kedua negara untuk terjun ke dalam medan perang, melainkan banyak negosiasi yang membahas mengenai national interest antarnegara yang berhasil –tidak menyebabkan konflik yang berujung pada peperangan antarnegara. Hal tersebut mengindikasikan bahwa national interest merupakan sesuatu yang sifatnya negotiable atau sebagai komplementer.

Berbeda dengan needs suatu negara dimana dapat mencakup keamanan, identitas, kebebasan berpolitik, partisipasi ekonomi, kebebasan beragama, dan mencakup nilai-nilai kebudayaan yang tentu saja tidak dapat dinegosiasikan. Needs berhubungan dengan tahap permukaan yang menjadi keperluan masyarakat –tidak dapat dikomplementer. Banyaknya needs yang tidak diakomodasi oleh negara juga menjadi sumber konflik berkepanjangan.

Klausul ketiga penyebab PSC adalah role of government. Ketika terjadi eskalasi konflik, pemerintah akan mengambil peranan di dalamnya, antara untuk mencari resolusi, atau justru menjadi aktor yang terlibat di dalam konflik tersebut. Dalam konteks konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, harus dipahami bahwa terdapat dua kekuatan Islam Fundamental yang menguasai Palestina, yakni Hamas dan Fatah yang notabene tidak terintegrasi dengan baik dalam memperjuangkan martabat Palestina –terlebih setelah gagalnya diplomasi yang dilakukan oleh Yasir al-Rafat yang saat itu memimpin PLO dalam diplomasinya land for peace dengan Israel. Sehingga dapat dilihat bahwa, kedua kekuatan yang menempati pucuk kekuasaan Palestina mengalami perpecahan dan dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memperlemah posisi Palestina di dalam masyarakat internasional.

Yang terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah pengaruh dari international linkage. Pengaruh tersebut menggambarkan bagaimana negara-negara luar memiliki kepentingan masing-masing sehingga konflik antara Israel dan Palestina sangat sulit untuk mencapai perdamaian. Seluruh kebijakan politik di Timur Tengah, salah satunya adalah pendirian Israel sebagai negara tidak lepas dari peranan Inggris yang mengeluarkan Deklarasi Balfour pada 1917, dimana Inggris memberikan pengakuan penuh atas kedaulatan negara Israel. Selain itu juga munculnya Resolusi DK PBB No. 242 yang menandai pendirian negara Israel di Palestina.

Kemudian kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah yang juga berpengaruh terhadap berlarut-larutnya konflik Israel dan Palestina. AS memiliki tiga (3) kepentingan terkait dengan penyebaran demokrasi, melindungi Israel berdasar atas Doktrin Truman, dan yang hingga kini kita ketahui adalah kebutuhan AS terhadap minyak. Israel merupakan negara di Timur Tengah yang memiliki sistem politik yang paling demokrasi, sedangkan Palestina menjadi negara dengan sistem politik semi-monarki absolut-otoriter yang membedakan kedua entitas tersebut. Sehingga terlihat disini konflik berkepanjangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh luar yang mendominasi, dibuktikan oleh AS yang menjadikan Israel sebagai salah satu pijakan terkuatnyauntuk mengendalikan stabilitas di Timur Tengah dengan sistem politik demokrasinya.

Dengan memfokuskan pada berlarutnya permasalahan yang dihadapi oleh Israel-Palestina hingga saat ini, "Efektifkah peranan PBB dalam proses perdamaian Israel-Palestina?”

Tidak Efektifnya Peranan PBB dalam Perdamaian Israel-Palestina

Peranan PBB dalam perdamaian Israel-Palestina tidak efektif dilihat dari Draft Resolusi yang tidak membawa hasil signifikan. Hal itu dikarenakan banyaknya pelanggaran atau ketidaksetujuan salah satu pihak terhadap resolusi yang dikeluarkan PBB.

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Azar, penulis akan memberikan penjelasan secara detail mengenai kegagalan PBB dalam memberikan resolusi terkait Konflik Israel dengan Palestina. Pertama, adalah communal content yang menekankan pentingnya aspek sejarah terkait identitas, agama, maupun budaya dari kedua belah pihak yang mengalami konflik. Dari aspek sejarah, kita dapat melihat bahwa kedua negara tersebut merupakan dua belah pihak yang telah mengalami perbedaan sejak 2000 SM.

Cerita mengenai lahirnya kedua bangsa ini tercatat dalam Alkitab ketika Abraham sebagai manusia pilihan Allah (Yahweh) mendapat janji Allah bahwa dirinya akan menjadi bapa bagi bangsa yang besar. Kemudian Allah berfirman kepada Abraham bahwa Tanah Kanaan (saat ini disebut Tepi Barat dan Jalur Gaza) merupakan milik Abraham dan keturunannya.

Disparitas terjadi ketika Abraham memiliki dua anak dari dua istri yang berbeda, Ishak dari Sara, dan Ismail dari Hagar. Bangsa Yahudi (Israel) mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Ishak yang merupakan istri sah Abraham sebagaimana tercatat dalam Alkitab Umat Kristiani, sedangkan leluhur bangsa Arab adalah Ismail yang merupakan anak dari Hagar yang sebelumnya merupakan hamba dari Sara. Di sisi lain, umat Islam (Palestina) mengnggap bahwa mereka adalah keturunan sah dari Abraham (Ibrahim) sebagaimana tercatat dalam Al-Quran melalui Ismail. Perbedaan sejarah yang dipercayai kedua pihak ini mengakibatkan perbedaan kedua belah pihak dalam memandang konflik ini karena kedua belah pihak sama-sama mengklaim bahwa mereka adalah pewaris sah akan wilayah yang diperebutkan tersebut.

Jika kita membandingkan disparitas etnis antara Negara Israel dengan Palestina, Israel memiliki kepercayaan dan budaya yang cenderung lebih homogen dibandingkan dengan Palestina. Faktanya, menurut CIA World Fact Book pada tahun 2003, 80% penduduk Israel merupakan bangsa Yahudi, hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Palestina yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam namun terdapat berbagai perbedaan aliran dalam tubuh Islam itu sendiri seperti Sunni, Syiah, dan Ibadi. Lebih lanjut, Bangsa Yahudi memiliki keistimewaan dimana tradisi dan budaya yang mereka anut tidak luntur dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Di sisi lain, Umat Islam Palestina tidak memiliki keistimewaan seperti yang dimiliki bangsa Yahudi sehingga sampai saat ini Palestina mengalami kesulitan untuk memiliki status sebagai negara yang kedudukannya diakui PBB karena tidak terdapat sebuah chemistry di dalam tubuh Palestina itu sendiri.

Faktor kedua sebagai penyebab ketidakefektifan PBB, yaitu Human Needs dimana kedua bangsa ini sama-sama membutuhkan hak keamanan, identitas sebuah negara, kebebasan berpolitik, ikut serta dalam kegiatan ekonomi, kebebasan beragama, dan mencakup nilai-nilai kebudayaan yang tentu saja merupakan hal yang tidak dapat dinegosiasikan. Terkait hal itu, diperlukan wilayah untuk mengakomodasikan seluruh kebutuhan tersebut yang bersifat non-negotiable.

Perbedaan human needs dalam kasus ini dibuktikan dengan ditolaknya konsep land for peace sebagaimana tertuang dalam Resolusi DK PBB No. 242 pada tahun 1967 oleh negara-negara Arab, karena menganggap bahwa konsep tersebut sangat merugikan Palestina dimana Jalur Gaza dan Tepi Barat menjadi teritori Israel. Dalam konsep land for peace, Israel menarik pasukannya dan memberikan damai bagi negara-negara Arab. Namun demikian, yang negara-negara Arab tersebut inginkan bukanlah damai dimana Israel memiliki hak atas wilayah tersebut dan tidak menyerang negara-negara Arab secara militer, melainkan damai dalam artian non-eksistensi negara Israel di wilayah tersebut, sehingga tidak mengherankan jika negara-negara Arab menolak resolusi tersebut.

Lebih lanjut, perbedaan human needs juga nampak dalam reaksi Israel maupun negara-negara Arab ketika PBB mengeluarkan resolusi No. 181 pada tahun 1947 dimana di dalamnya tertulis bahwa kota Yerusalem berada di bawah kendali PBB dan membagi wilayah yang diperebutkan menjadi 2 bagian, 56,47% untuk Israel, dan 43,53% untuk Palestina. Menanggapi resolusi PBB ini, negara-negara Arab menolak dengan alasan yang serupa dengan contoh kasus Resolusi DK PBB No. 242 tahun 1967, yaitu bahwa mereka menginginkan tidak adanya negara Israel. Sangat jelas bahwa ada dua kutub yang saling berlawanan dalam hal ini: Israel menginginkan land, Palestina menginginkan peace – dan bahwa Palestina menempati land yang diinginkan Israel, sedangkan Israel memiliki kapasitas untuk menjadikan hari-hari di Palestina jauh dari kedamaian apabila Palestina menolak memberikan apa yang diinginkan oleh Israel. Secara sederhana dapat dikatakan, dari sudut pandang Israel, bahwa terminologi tadi dapat diperbarui menjadi land for me, peace for you; ‘berikan tanah (daerah/teritori) mu padaku, maka akan kubiarkan kau hidup dengan damai (Israel menarik pasukannya dan berpotensi menjalin hubungan yang lebih baik dengan Palestina setelahnya)’. Melihat fakta bahwa kebutuhan kedua pihak ini sangatlah berbeda, penulis berpendapat adalah sebuah hal yang mustahil untuk mencapai perdamaian dalam konflik ini.

Ketiga, posisi negara dan pemerintahnya dalam konflik juga bisa dijadikan alasan mengapa upaya-upaya PBB dalam perundingan damai Israel-Palestina tidak pernah menorehkan hasil yang memuaskan. Dalam konflik ini, posisi pemerintah Israel dan Palestina sama-sama merupakan bagian, dan bukan solusi dari konflik. Satu-satunya yang bisa meredakan konflik berlarut-larut ini adalah Israel dan Palestina sendiri, tetapi mereka sendiri memilih dan membuat kebijakan yang terdampar dalam kondisi yang justru memperburuk kondisi dan menjauhkan konflik dari penyelesaian. A. B. Yehoshua, salah satu penulis dalam surat kabar Haaretz, memperkuat mosi ini dengan menyatakan bahwa batu sandungan utama yang menghalangi konflik ini menuju penyelesaian adalah Israel dan Palestina sendiri. Yehoshua menyatakan bahwa konflik arkhaik ini sesungguhnya memiliki potensi untuk diselesaikan dengan pembentukan negara binational, seperti layaknya negara-negara lainnya yang diwarnai pluralisme, contohnya Indonesia. Tetapi sayangnya, baik Israel maupun Palestina sama-sama enggan untuk berkoeksisten satu sama lainnya. Orang-orang Yahudi Israel tidak ingin meluluhlantakkan orang-orang Palestina, tetapi juga tidak mau berintegrasi dengan mereka, tetapi mereka juga tidak memiliki kapabilitas untuk membentuk kekuatan kolonial karena mereka tidak memiliki negara asal, menjadikan kasus ini unik (sebuah bangsa datang ke tanah bangsa lain untuk menggantikan identitas tanah dan bangsa tersebut ke bentuk kuno-baru nya). Ini diperkuat dengan adanya doktrin Ben-Gurion, salah satu founding father dari Negara Israel :

“Diantara kita (Para Zionis) tidak boleh ada perdebatan tentang integritas dari Tanah Israel (Palestina), dan tentang hubungan/ikatan dan hak-hak kita terhadap tanah tersebut.Ketika seorang Zion berbicara tentang integritas tanah Israel, hanya ada satu artian, yaitu kolonisasi dan penguasaan sepenuhnya (Hityashvut) tanah tersebut oleh Bangsa Yahudi.Oleh karena itu, bagi penulis, pertanyaan sebenarnya bukanlah kepada siapa tanah ini diperuntukkan secara politis, maupun kepercayaan abstrak tentang integritas territorial. Tujuan sebenarnya adalah merealisasikan kependudukan seutuhnya bangsa Yahudi di seluruh tanah Israel.”

Dalam hal ini ada dua implikasi: konflik Israel-Palestina ini lebih merupakan konflik identitas daripada konflik teritorial, dan jalur komunikasi antara kedua belah pihak dapat diasumsikan sebagai jalan buntu. Keduanya tidak mengetahui, dan tidak berkeinginan mengetahui siapa yang menjadi lawan mereka; apakah Israel hanya bertentangan dengan orang-orang Palestina saja atau dengan keseluruhan bangsa Arab, dan apakah Palestina berhadapan dengan orang Yahudi dari Israel saja ataukah dengan orang-orang Yahudi di seluruh dunia. Kedua negara ini saling kontra satu sama lainnya, dan bila dibawa ke tingkat analisis individual dan kelompok, telah melahirkan ketidakpercayaan antara dua bangsa. Tentu saja bila pada tingkatan grassroot saja mereka sudah mengambil posisi saling beroposisi, dalam tingkat negara, seluruh kebijakan, pandangan, dan sikap pemerintahan mereka tidak mungkin akan suportif satu sama lainnya. Sangat maklum bila konflik ini kemudian sangat sulit dicari penyelesaiannya lantaran posisi pemerintah dan bahkan hampir seluruh individunya merupakan bagian dari konflik, alih-alih menjadi solusinya.

Pandangan kedua negara ini terhadap PBB juga ternyata menjadi masalah tersendiri. Keduanya tidak menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada PBB dan segala usaha mediasi perdamaian yang diinisiasi PBB. Dari sisi Israel, pemerintah menilai sangat sulit untuk menempatkan PBB dalam posisi mediator netral, dan hampir seluruh masyarakat meyakini bahwa PBB dipenuhi dengan kebiasan. Anggapan ini terutama muncul dari kegiatan-kegiatan dalam Majelis Umum PBB yang kerap kali menyudutkan Israel. Israel merasa berada dalam posisi yang tidak adil, dipojokkan dengan jumlah dan kesempatan negara-negara Arab untuk membela Palestina di sidang Majelis Umum, sedangkan suara sekutu Israel amat jarang didengarkan. Israel juga dikucilkan dalam berbagai badan PBB, lantaran tidak memiliki keanggotaan dalam organisasi regional manapun. PBB dinilai telah membuat pandangan dunia menjadi diskriminatif dalam konflik Israel-Palestina, dimana Israel selalu dijadikan villain, sedangkan Palestina diposisikan layaknya sebagai entitas yang hanya memiliki hak, tanpa ada tanggungan kewajiban sama sekali.

Palestina, sama halnya dengan Israel, juga mengklaim bahwa PBB tidak dapat diandalkan. Alasan Palestina berbeda dengan Israel, yaitu menilai bahwa PBB terlalu didominasi oleh aliansi terbesar Israel, yakni AS. Sebagai salah satu pemegang Hak Veto dalam DK PBB, AS dalam pandangan Palestina dicap bertanggung jawab atas gagalnya pengesahan dan implementasi dari banyak Resolusi DK PBB yang mendukung Palestina. Palestina juga menyatakan bahwa PBB yang saat ini merupakan refleksi dari keadaan geopolitik pasca Perang Dunia II, dan sudah seharusnya direformasi, terutama Dewan Keamanannya. AS lah yang menjauhkan reformasi PBB jauh dari realisasi, sekaligus hanya menjadikan PBB sebagai forum untuk berkata-kata indah semata tanpa ada tindakan konkret untuk membantu resolusi konflik Israel-Palestina, karena setiap proposal resolusi yang mengandung satu atau dua kata saja yang menyudutkan Israel akan selalu dilempar kembali ke kotak sampah berkat veto dari AS. Israel sungguh berada dalam posisi yang lebih strategis karena memiliki hubungan yang sangat dekat dengan AS, sedangkan Palestina hanya bermodalkan itikad baik saja dalam forum-forum internasional.

Dari pemaparan di atas, dapat kita lihat posisi masing-masing aktor: PBB sebagai agen inisiator solusi dari konflik, Israel dan Palestina sebagai parties to the conflict. Dengan ‘pernyataan terbuka’ kedua belah pihak yang meragukan kompetensi PBB sebagai jalan menuju penyelesaian konflik, adalah halal untuk menyebut dan memastikan posisi Israel dan Palestina serta pemerintahan mereka masing-masing sebagai bagian dari konflik ini, dan bukan (atau belum) merupakan solusinya.

Dengan menyinggung AS dalam penjelasan sebelumnya, akan dibuka juga tirai terakhir dalam teori PSC yang berkontribusi menyebabkan berlarut-larutnya konflik Israel-Palestina: International Linkage. PSC menyatakan bahwa konflik dapat menjadi berkepanjangan bila ada kepentingan-kepentingan yang bertentangan melatari konflik tersebut. Bila kita lihat, sebenarnya ada entitas-entitas lain yang berdiri di belakang masing-masing Israel dan Palestina –AS di pihak Israel, dan negara-negara Arab di pihak Palestina. Apa pertentangan kepentingan diantara mereka? AS ingin mempertahankan keutuhan Negara Israel karena Israel merupakan batu tumpuan utama AS untuk meluluskan segala kepentingannya di kawasan Timur Tengah. Dalam lapisan luar, AS boleh saja mengatakan bahwa kepentingan utamanya adalah merealisasikan manifested destiny of USA: menyebarkan demokrasi liberal ke seluruh dunia, dan bahwa Israel adalah aliansi kuncinya untuk melancarkan kepentingan tersebut di kawasan Timur Tengah. Dan memang, Israel sejak masa Perang Dingin telah menjadi patron di Timur Tengah yang membantu AS mengatasi gerakan-gerakan ekstremis dan radikal dari dunia Arab. Israel selain menjadi perpanjangan tangan AS di Timur Tengah juga menjadi sumber informasi dan strategi untuk menghadapi gerakan-gerakan terorisme yang mengancam keamanan nasional AS. Meskipun kelihatannya AS banyak menggelontorkan dana dari hasil pemungutan pajak warga negaranya untuk Israel dalam bentuk peralatan perang, tetapi sesungguhnya Israel sangat bermanfaat, mengurangi potensi pengeluaran AS dalam jumlah milyaran dollar karena AS tidak perlu mengirim pasukannya secara langsung ke Timur Tengah. Di lapisan dalam, dan berhubungan juga dengan power projection AS melalui Israel, ada kepentingan lain yang sangat signifikan: suplai minyak. AS tidak ingin kehilangan akses terhadap wilayah yang memiliki cadangan minyak bumi terbesar di dunia lantaran memiliki perbedaan ideologi dengan inhabitan asli kawasan tersebut. Untuk itulah, Israel sangat diperlukan AS untuk menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah, sekaligus mengamankan jalur suplai dan perdagangan minyak AS. Atas dasar ini, adalah penting bagi AS untuk menjaga dan mendukung keutuhan serta kemakmuran Israel lantaran menjadi aset vital bagi pemenuhan kepentingan nasionalnya sendiri.

Sisi pertentangannya datang dari negara-negara Arab yang menginginkan pembentukan negara Palestina, dengan alasan bahwa orang-orang Palestina memang berhak menempati tanah yang sudah mereka tinggali dari generasi ke generasi dan mengecam orang-orang Yahudi yang datang merebut tanah mereka. Penulis juga ingin menambahkan bahwa negara-negara Arab terdorong melakukan hal ini lantaran rasa solidaritas sesama negara yang diwarnai identitas Muslim. Namun, membawa argument ke arah biblikal akan membuka ruang bagi banyak spekulasi non-akademis. Oleh karena itu, penulis akan menutup bagian ini dengan menyatakan bahwa faktor keempat PSC juga berkontribusi menyebabkan sulitnya mencari resolusi bagi konflik Israel-Palestina: karena ada kepentingan-kepentingan yang berlawanan dari entitas-entitas berbeda yang mendukung mereka. Hal ini juga yang menyebabkan mengapa usaha-usaha PBB kurang efektif dalam menjadi mediator, terlebih karena salah satu pemegang kepentingan dalam konflik ini adalah anggota tetap DK PBB.

Kesimpulan

Konflik Israel-Palestina adalah konflik yang sudah berakar sejak lama sekali dan amat jauh dari kata penyelesaian. Sesuai teori PSC, ada empat faktor yang menyebabkan hal ini.

Communal content: Faktor budaya dan sejarah berperan penting dalam berlarut-larutnya konflik Israel–Palestina. Fakta bahwa Bangsa Yahudi dan Islam telah mengalami konflik berlarut larut akibat disparitas sejak 2000 tahun SM menyebabkan konflik ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Terjadinya beberapa kali perang yang melibatkan Israel dan Palestina menimbulkan korban jiwa yang tidaklah sedikit, juga berpengaruh sangat signifikan dalam berlarutnya konflik tersebut.

Human Needs: Perbedaan kebutuhan kedua belah pihak di level individu mengakibatkan konflik ini bersifat non-negotiable. Konsep land for peace yang ditawarkan dalam Resolusi DK PBB No. 242 tahun 1967 membuktikan hal ini dimana kedua belah pihak mendefinisikan peace dalam artian yang berbeda. Kedua aspek ini merupakan hal indispensable bagi kedua belah pihak, yang keberadaannya sangat vital bagi keduanya, dan tidak dapat tergantikan apalagi sampai direbut. Keharusan Palestina untuk mempertahankan land nya membuat peace semakin jauh dari jangkauan, karena Israel tidak akan pernah membiarkan Palestina merasakan kedamaian selama obyektif utamanya untuk mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina belum terwujud. Di lain pihak, konflik ini telah berlangsung terlalu lama dan telah memakan korban terlampau banyak, sehingga sepertinya sudah tidak ada lagi light at the end of the tunnel bagi konflik ini.

Posisi pemerintahan kedua belah pihak juga turut menjadikan konflik ini berkepanjangan sekaligus membuat usaha PBB sia-sia lantaran kurang dipercaya oleh keduanya. Israel dan Palestina sama-sama tidak sepenuhnya mempercayai PBB dan meyakini peranannya sebagai mediator netral yang berperan sebagai jalan tengah yang sepenuhnya netral dalam usahanya membantu mencari penyelesaian bagi konflik ini. Masing-masing memiliki anggapan bahwa PBB bias dan cenderung lebih menguntungkan pihak lainnya, baik dalam sidang-sidang Majelis Umum maupun dari penggunaan hak veto anggota Dewan Keamanannya pada resolusi-resolusi yang menyangkut konflik ini. Alhasil, alih-alih menjadi (dan mencari) solusi bagi konflik ini, Israel dan Palestina malah memperkeruh konflik; tidak bersikap suportif bagi entitas yang berusaha menyelesaikan konflik mereka. Selain itu, kepentingan berbeda dari entitas internasional lain juga berkontribusi membuat benang konflik semakin kusut. Dilihat sekilas, sepertinya selama ini Israel lah yang terus diuntungkan dari hubungan aliansinya dengan AS, namun dibalik itu, AS terindikasi memanfaatkan pengaruh dan kedudukan Israel di Timur Tengah sebagai satu-satunya negara demokratis yang stabil yang mampu menjadi perpanjangan tangan AS untuk memuluskan pencapaian kepentingan nasionalnya di Timur Tengah, yaitu yang secara altruistik digambarkan dalam mosi ‘menyebarkan demokrasi liberal’, namun diwarnai dengan bumbu-bumbu kepentingan nasional trivial AS selama berabad-abad: minyak mentah.

Solusi yang dapat penulis tawarkan adalah agar PBB tidak melakukan tindakan-tindakan yang membuat Israel dan Palestina makin mempertanyakan kredibilitasnya. Hanya Israel dan Palestina saja lah yang bisa menuntaskan konflik ini sepenuhnya, dan bila PBB ingin membantu, sebisa mungkin inisiatif yang dilakukan harus benar-benar tidak bias dan tidak membawa kepentingan di luar kedua negara yang berseteru ini.

Daftar Pustaka

Buku:

Berger, Alan., et al. 2010.Israel and Palestine Two States for Two Peoples – If Not Now, When? Boston Study Group on Middle East Peace.

Bickerton, IanJ. 2009. The Arab-Israeli conflict : a history.Reaktion Books: Great Britain.

Booth, Ken. Dunne, Tim., eds. 2002. Worlds in Collision: Terror and the Futureof World Order. Palgrave.

Dayan, Moshe. Haaretz, edisi 18 Februari 1973.

Englander, Odelia. 2009. Converging for Peace – The United Nations and the Israel-Palestine Peace Process. The Atkin Paper Series – International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR), King’s College, London.

Fraser, T. G. 2004. The Arab-Israeli Conflict - Second Edition.Palgrave MaCMillan : New York.

Hanhimaki, Jussi M. 2008. The United Nations A Very Short Introduction.Oxford University Press : New York.

Harms, Gregory. 2008. The Palestine–Israel Confl ict A Basic Introduction - Second Edition.Pluto Press : London.

Hinnebusch, Raymond. 2003. The International Politics of The Middle East.Manchester University Press Oxford Road : United Kingdom.

Karsh, Efraim. 2002. The Arab-Israeli Conflict The Palestine War 1948.Osprey Publishing : Great Britain.

Katirai, Negar. 2001. History of the Israeli-Palestinian Conflict.POV Promises-Timeline. American Documentary, Inc.

Kelman, Herbert C. 2007. The Israeli- Palestinian Peace Process and its Vicissitudes – Insight from Attitude Theory. American Psychologist, Vol. 62, No.4.

Machover, Moshe. Israelis and Palestinians : Conflict and Resolution. Barry Amiel and Norman Melburn Trust Annual Lecture. London University, School of Oriental and African Studies. 30 November 2006.

Ramsbotham, Oliver. 2011. Contemporary Conflict Resolution.Polity Press: Cambridge.

Rubin, Barry M. 1981. The Arab States and the Palestine Conflict – First Edition. Syracuse University Press : United States of America.

Tidwell, Alan C. 2001. Conflict Resolved: A Critical Assessment of Conflict Resolution.Continuum : New York.

The Carter Center Special Conflict ReportJuly 2003. The Israeli-Palestinian Conflict : Historical and Prospective Intervention Analyses.

Yehoshua, A. B. Why the Israeli Palestinian Conflict Refuses to be Resolved. Haaretz, edisi 26 April 2011.

Website:

A synopsis of the Israeli-Palestinian Conflict. (http://ifamericansknew.org)

Israel Ministry of Foreign Affairs. Israel-Palestinian Negotiations. (http://www.mfa.gov.il/MFA/ForeignPolicy/Peace/Guide/Pages/Israel-Palestinian%20Negotiations.aspx)

Nader, Ralph. 2012. Israel-Palestine – What is the U.S. National Interest? (http://nader.org/2012/11/20/israel-palestine-what-is-the-u-s-national-interest/)

The American Task Force on Palestine. 2005. Palestine – Israel 101 The Two State Solution. ATFP Presentation. Hal. 24-27. Diakses dari:(http://www.umsl.edu/~naumannj/Geography%20PowerPoint%20Slides/supplementary%20powerpoints/Israel%20-%20Palestine%20Presentation101v5.ppt

European Institutefor Research on Mediterranean and Euro-Arab Cooperation. UNGA Resolution 181(Partition Plan on Palestine). Diakses dari: (http://www.medea.be/en/themes/international-organizations-and-diplomacy/un-ga-resolution-181-partition-plan-of-palestine/), tanggal 19 November 2013.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun