Seorang ibu usia 36 tahun, bekerja sebagai TKI di Arab Saudi. Gajinya yang lumayan besar di kirim ke suaminya, seorang petani di Jateng, untuk perbaikan rumah mereka dan orangtuanya, selain untuk hidup dua anak mereka. Ketika pulang ke Jateng, S mendapati suaminya sudah kawin siri dengan janda di desa sebelah. Gaji S sebagai TKI ternyata dipakai untuk membuatkan rumah janda itu, Dua anak S dititipkan pada orangtua mereka yang sudah tua dan miskin. S jadi endiam, suka melamun, kadang menangis dan bicara sendiri, dan di berdiam kamar saja tak mau ketemu orang. Akhirnya NyS tak mau mandi berhari-hari, tak mau makan dan minum sampai badannya lemas. NyS dibawa ke RSJ dan mondok dibangsal saya, Sembadra.
Pak M laki-laki berusia 40 an, sudah bekerja selama 15 tahun sebagai buruh bangunan pada developer bangunan-bangunan besar di Jakarta. Istrinya berjualan sayur di pasar untuk menghidupi dua anaknya yang di SMP dan SD. Awal tahun ini bos developer kehabisan order, lalu pindah usaha sebagai perusahaan ekspor impor di pelabuhan. Semua buruh bangunannya di PHK. Pada saat itu Pak M ,emdapat kabar istrinya meninggal karena jantung. Pak M pulang kerumah dengan hati semplah dan kosong. Ia mendapati anak-anaknya dipelihara adiknya yang sudah berkeluarga karena orangtua mereka telah tiada. Pak M nampak murung dan sedih, hampa, berdiam diri saja di rumah, menyendiri dn tak mau ketemu orang. Ia tak mau mengerjakan tegalan meski ada tegalan peninggalan orangtuanya. Ia sering bicara sendiri, dan berkali-kali mengatakan ingin ngendhat (bunuh diri) karena hidupnya sudah tak berguna lagi dan tak tertolong lagi. Akhrnya ia dibawa ke RSJ oleh adiknya dan tetangganya untuk dirawat disana.
Je adalah seorang pemuda 30 tahunan, anak seorang mantan pejabat tinggi dan pengusaha besar di Surabaya. Sejak kecil semua keinginan dan permintaan Je dipenuhi oleh orangtuanya. Ketika dewasa ia minta sepeda motor trail, mobil, bahkan moge juga dipenuhi. Je kuliah sudah sampai semester akhir, menjelang skripsi, tiba-tiba berhenti. Ia merasa tak ada gunanya jadi sarjana, untuk apa? Ia berdiam diri di rumah, nampak murung, dan tak mau mengerjakan apa-apa. Je sangat tertutup, tak punya teman dekat, dan orangtuanya tidak tahu apa yang ada di dalam benaknya. Je suka membaca buku-buku yang bersifat “magic-mistic”. Lama-lama ia jadi mudah tersinggung, iritabel, marah-marah tanpa sebab dan menghancurkan barang-barang rumah. Karena udah setengah tahun seperti itu orangtuanya membawanya ke psikiater. Psikiater memberikan psikoterapi psikodinamik, obat anti depresan kuat, dan karena Je berjanji mau minum obat teratur serta bisa mengendalikan emosinya, ia tidak perlu mondok tapi harus kontrol dua minggu sekali.
Tiga kasus nyata diatas adalah contoh kasus depresi berat. Sebagai gangguan mental depresi adalah sedih, kecewa, dan putus asa berat dan berkepanjangan. Perasaan bersalah, tak tertolong lagi, merasa tak berguna dan ingin mati saja. Depresi bisa bertaraf ringan, sedang, dan berat. Tiga kasus diatas adalah depresi berat. Bila disertai waham dan halusinasi, disebut depresi berat dengan gejala psikotik. Sehingga terapi utama depresi ini adalah psikofarmasi antidepresan kuat dan anti psikotik dosis tinggi pula. Ini untuk mengangkat neurotransmiter serotonin yang anjlog kadarnya di celah sinaptik otak dan memperbaiki dopamin yang juga tak seimbang. Efeknya bisa cepat mengangkat batin yang tertekan dan nglokro serta menghilangkan hasrat bunuh diri.
Efek antidepresan teramati minimal dua minggu. Tapi sesudah itu ego yang cedera atau runtuh harus ditegakkan kembali. Ini dengan psikoterapi, terapi kejiwaan dengan wawancara tatap muka yang “tidak menggurui” tapi “memancing dan mendorong” motivasi individu untuk bangkit, bergairah, dan bisa menikmati hidup kembali. Tiga tahun yang lalu saya pernah diminta untuk bicara di Kongres Nasional Psikoterapi Indonesia tentang memasukkan “Cultural Aspect”atau kearifan (budaya) lokal dalam psikoterapi. Di Jawa, aspek budaya ini adalah “falsafah dan sikap hidup Jawa” yang sangat luas, diantaranya ajaran “Kawruh Begja” atau “Kawruh Jiwa” dari Ki Ageng Suryomentaram. Ajaran budaya lokal ini dimasukkan secara ilmiah dengan tetap memakai prinsip-prinsip psikoterapi barat. Diperuntukkan sebaiknya bagi orang-orang yang sejak kecil telah menerima - meski sedikit – pandangan dan sikap hidup Jawa dari orangtua atau kakek neneknya.
Inti aktivitas ajaran Kawruh Begja aatau Kawruh Jiwa banyak menganalisis fenomena “jiwa” (kramadangsa) dan inti pribadi manusia (the true self). “Jiwa” manusia dipahami sebagai sesuatu yang dapat “rusak” atau “binasa”. Jiwa yang dapat rusak atau binasa itu dahulu mengalami kelahiran dan setelah memperoleh pengalaman-pengalaman hakiki kemudian dapat “dimatikan”. Dengan datangnya kematian “jiwa” ini maka lenyaplah dominasi atau pengaruhnya pada pribadi seseorang (misalnya emosi yang meledak-ledak, ketakutan, depresi, atau proyeksi sebagai waham dan halusinasi). Melalui pengalaman-pengalaman itulah maka kemudian dihasilkan “catatan-catatan” atau “rekaman-rekaman” sebagai perbendaharaan hidup yang tersimpan dalam album ingatan. Bila “jiwa” seseorang telah berhasil dibersihkan atau dimatikan oleh inti pribadinya sebagai sebagai manusia, perbuatan orang tersebut bebas tapi teratur dan terarah dengan benar, sehingga hidupnyapun akan terasa damai dan tenteram atau bahagia.
Inilah hebat. Dalam psikoterapi barat, tentu saja “jiwa” tak bisa dimatikan. Catatan atau rekaman hidup itu, bila menyakitkan, justru akan menjadi trauma psikis yang menjadi sumber dari konflik batiniah yang akhirnya terwujud dalam berbagai gejala gangguan jiwa. Psikoterapi berusaha meredam atau mendorong individu untuk bisa beradaptasi dengan hal itu supaya tidak mengganggu hidupnya lagi. Dalam Kawruh Begja, persepsi terhadap catatan atau rekaman itu dimatikan oleh inti pribadi manusia itu sendiri.
“Di kolong langit ini, anakku “,kata Ki Ageng kepada murid-muridnya”, tak ada sesuatupun yang pantas diratapi tau ditakuti. Karena begitu seseorang atau mengkhawatirkan terjadinya sesuatu, pada saat yang sama berarti ia telah mengharapkan datangnya sesuatu yang tidak ada pada saat itu. Dan ketika seseorang sedang menginginkan sesuatu, ia akan berangan-angan bila harapannya terkabul ia akan bahagia selamanya. Sebaliknya bila ia tak sanggup mencapai harapannya itu, ia akan menderita sepanjang masa. Ini bohong besar. Beribu-ribu keinginan manusia telah tercapai tapi manusia hanya bahagia sebentar dan kenudian akan bersedih lagi. Beribu-ribu keinginan manusia juga telah gagal digapai, namun manusia tidak lantas sengsara seumur hidupnya. Sepanjang usia alam semesta ini, kenyataan selalu menunjukkn bahwa manusia hanya bersedih sesaat dan kemudian bisa menikmati kebahagiaan kembali. Begitu saja, dan siklusnya akan terus berulang dan berulang lagi”.
Untuk individu-individu yang depresi berat seperti kasus-kasus diatas, Ki Ageng akan mengatakan: “Bila kau merasa paling celaka dan sengsara anakku, ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang-orang yang jauh lebih celaka dan sengsara dari padamu dan toh mereka bisa melanjutkan hidupnya. Maka kamu harus merasa begja (beruntung) dan bersyukur kepada Tuhan”. Kemudian Ki Ageng akan melanjutkan : “Bila anakmu mengalami kecelakaan tabrakan di jalan raya sehingga sepedanya hancur, maka kau harus mengatakan bahwa beruntung saya bahwa hanya sepeda anak saya, bukan kepala anak saya yang hancur. Kamu harus merasa begja dan bersyukur pada Allah SWT”****..
[caption caption="Kembul Sewudulur dan Pentas Jatilan Saparan Bendung Kayangan, Kulonprogo, Jateng. Sept 2015, dok.pribadi"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H