[caption id="attachment_320344" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]
Seorang pria muda, 30 tahunan, masih bujangan tapi sudah bekerja, menunjukkan gejala perilaku yang aneh. Dalam waktu kurang lebih 2 minggu ia menjadi banyak bicara dan gembira berlebihan. Bicaranya terus-terusan, membanjir, sering meloncat dari satu topik ke topik yang lain, kepada semua anggota keluarganya maupun tetangga dan teman-temannya. Ia merasa dirinya pandai luar biasa, kaya dan berpengaruh kuat sehingga menteri-menteri, para jenderal bahkan presiden mengenalnya dengan baik. Ia menjadi kurang tidur, berbicara terus menyombongkan kesaktiannya dan sering ngeluyur tanpa tujuan. Ia membagi-bagikan uang kepada orang yang ditemuinya di jalan atau malah menantang mereka untuk menjajal kesaktiannya.
Akibatnya ia sering pulang ke rumah dengan babak belur karena dipukuli orang-orang yang ditantangnya. Orang tuanya dengan susah payah membawanya ke psikiater terdekat, tapi ia tak mau minum obat, orang tuanyalah dan psikiater itu yang harus minum obat karena ia merasa jauh lebih pandai dari psikiater itu. Akhirnya ia terpaksa dibawa dan mondok di RSJ.
Demikian juga dengan seorang wanita, 28 tahunan, belum menikah, bekerja membantu ibunya jualan di pasar, tiba-tiba menunjukkan perilaku seperti di atas. Ia merasa jadi gadis paling cantik yang dipuja orang sekampung dan dicintai banyak lelaki. Ia bicara banyak tanpa henti ke semua orang di sekitarnya, banyak tertawa karena sangat gembira. Ia juga sering menyanyi, lagunya “dari masa ke masa” tapi yang paling sering “Dokter Cintaku” karena merasa dicintai banyak dokter. Ia merasa dirinya penyanyi kondang, sudah sering pentas bersama artis-artis kondang, dan terkenal sebagai “selebritis”. Karena sangat malu, ibu dan kakaknya membawa ke psikiater terdekat tapi hasilnya sama. Ia tak mau minum obat psikofarmaka, karena merasa tak kekurangan suatu apa pun dan masakan artis kondang harus minum obat dari dokter jiwa? Akhirnya ia pun harus sipondikkan di RSJ.
Dua orang di atas menderita suatu gangguan jiwa yang sudah seabad lamanya ditemukan. Dulu disebut gangguan manik-depresif, dan dalam 20 tahun terakhir ini disebut gangguan bipolar tipe manik. Orang-orang ini terganggu alam-perasaannya, karena itu dulu disebut juga gangguan afektif dan sekarang disebut gangguan mood. Bedanya dengan skizofrenia, pada skizofren yang terganggu adalah asosiasi, konsep dan proses berpikirnya. Pada gangguan bipolar (afektif) yang terganggu hanya alam perasaannya. Alam perasaannya bisa sangat ekspansif melambung bahagia, bisa anjlog terbenam dalam kesedihan tanpa akhir yang menjurus ke bunuh diri, inilah depresi.
Gangguan afektif bipolar mempunyai dua kutub (polar), yaitu kutub manik bila perasaan sangat melambung gembira, dan kutub depresi bila perasaan ambles terbenam dalam kesedihan. Karena itu disebut gangguan bipolar tipe manik dan tipe depresi. Bila dua kutub itu terjadi bersamaan, berselang-seling, disebut gangguan bipolar tipe campuran.
Sewaktu saya masih belajar dulu, sebagai coass tahun 1980-an, saya bertanya-tanya mengapa disebut gangguan manik-depresif atau gangguan bipolar (dua kutub) bila individu itu hanya mengalami kutub manik saja terus-terusan? Artinya sekarang menderita maik, sembuh dan beberapa bulan kemudian kambuh lagi dan manik lagi, demikian seterusnya. Sekarang saya tahu jawabnya. Setelah ribuan kasus diteliti di Eropa dan Amerika, orang yang mengalami gangguan manik, sembuh dan kambuh manik lagi, lalu manik lagi, suatu ketika dalam hidupnya ia akan mengalami episode depresi. Sedang individu yang mengalami depresi berat, tahun depan depresi lagi, dan depresi lagi, belum tentu ia akan mengalami manik. Karena itu gangguan bentuk pertama disebut gangguan afektif dua kutub, manik-depresif atau gangguan bipolar, sedang yang kedua disebut gangguan depresi, episode tunggal atau berulang bila terjadi berkali-kali dari tahun ke tahun.
Bedanya lagi dengan skizofrenia, bila pada skizofrenia terjadi “deteriorasi” atau keruntuhan fungsi peran (pekerjaan) dan kemampuan interaksi sosial selama bertahun-tahun, pada gangguan afektif bipolar hanya terjadi beberapa bulan saja (tanpa pengobatan) dan 5-6 bulan sudah sembuh sendiri secara total. Tapi setengah tahun lagi lebih kurang, bisa kambuh lagi. Karena itu masyarakat Jawa tradisional menyebutnya sebagai “edan tahun”. Secara tradisional, berdasar kultur, penderita dibawa ke dukun atau “wong pinter” dan dimandikan di kedung, dibenam-banamkan, atau dimandikan kembang setaman, dimasukkan ke senthong, diminumi air dalam gelas yang dicemplungi kertas bertuliskan huruf Arab godril, keluarga harus bikin selamatan dengan tumpeng dan ayam putih. Setelah 5 bulan akan sembuh total dan sang dukun akan tersohor karena memang dasarnya perjalanan penyakit ini dalam 5 bulan akan sembuh sendiri.
Bila dengan pengobatan anti-manik atau obat mood stabilizer di RSJ, dalam tempo 2 minggu gangguan bipolar manik akan sembuh total secara klinis dan keluarga pasti akan cepat mengambilnya karena memang individu itu sudah benar-benar sembuh seperti sediakala. Beda dengan skizofrenia yang dipondokkan, keluarga menengok saja tidak mau dan meski sudah disurati pihak RSJ sampai 10 kali keluarga tetap tak mau datang karena memang ingin “membuang” si penderita skizofrenia itu selama-lamanya.
Kriteria diagnostik gangguaan bipolar manik ini adalah, adanya peningkatan mood atau menjadi iritabel pada suatu tingkatan yang tak dapat disangkal dirasakan sebagai tidak normal dan dipertahankan sekurangnya 4 hari berturut-turut. Setidaknya terdapat tiga dari tanda-tanda ini: (1) peningkatan aktivitas atau agitasi; (2) peningkatan pembicaraan; (3) perhatian mudah teralih dan sulit berkonsentrasi; (4) pengurangan kebutuhan tidur; (5) peningkatan enerji seksual; (6) belanja berlebihan atau perilaku lain yang tidak bertangguang jawab atau tidak hati-hati; (7) sosialisasi atau pergaulan yang berlebihan.
Buku-buku psikiatri menyebutkan penyebab (etiologi) gangguan bipolar ini belum jelas. Mengapa neurokimiawi di otak bisa melonjak sehingga menimbulkan manik atau depresi belum diketahui. Secara psikodinamik, sebuah teori klasik menyatakan bahwa individu yang mengalami stressor kehidupan mengatasinya dengan mengidentifikasi figur bapak yang superior, maka menjadi manik. Dan sebaliknya, bila mengatasinya dengan mengidentifikasi figur ibu yang inferior, menjadi depresi. Yang jelas manusia harus bisa mengendalikan perasaannya sendiri. Bila ia terlalu gembira, janganlah menjadi gembira yang berlebihan. Dan bila ia mengalami kesedihan atau depresi, janganlah berlarut-larut. Ia harus bertawakal dan berpasrah diri pada Tuhan, yang pasti akan memberinya kebahagiaan lagi karena hidup toh harus dilanjutkan.****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H