Setelah nyaris tak pernah terlepas dari gawai, liburan sekolah saya memutuskan untuk menahan smartphone anak.Â
Sejak hari pertama libur, anak saya sudah tidak boleh menyentuh HP. Ini saya lakukan untuk memberikan warna berbeda dalam rutinitas kehidupannya. Mengingat sejak pandemi, pembelajaran nyaris full menggunakan gawai.
Terkadang, ketika libur sekolah atau weekend, saya meminta anak untuk tidak membuka HP. Tetapi itu tidak bisa dilakukan karena tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan memang berada di HP. Mulai dari sumber materinya yang diambil dari e-library, Youtube maupun aplikasi-aplikasi pembelajaran lainnya.Â
Saya pun mengalah dan membiarkan anak saya yang masih kelas 7 SMP untuk terus berhubungan dengan gawai.
Soal pengawasan? Ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab pendampingan menggunakan gawai tidak bisa saya lakukan full 24 jam.Â
Seringkali saya harus mengerjakan tugas lain baik urusan kantor maupun pekerjaan domestik rumah tangga.
Walhasil, di sela belajar menggunakan HP, adakalanya si anak iseng membuka game atau sejenisnya.Â
Beberapa kali saya mendapatinya ketika saya coba cek history pada HP. Bukan mengapa saya tidak memberikan izin anak saya bermain game atau berselancar di dunia maya. Saya takut anak menjadi kecanduan game, tak bisa lepas dari HP.
Mumpung libur sekolah, maka saya pun mencoba memisahkan anak dengan HP. Komunikasi dengan grup temannya di kelas, saya yang memantau tanpa sepengetahuan anak. Hanya yang penting-penting saja yang saya sampaikan ke anak. Selebihnya, apalagi sekadar obrolan atau candaan bareng teman kelasnya, saya memilih untuk mengabaikan.