Seorang kawan bernama Ari Nurdin bercerita ingin membeli property di kawasan Yogyakarta bagian barat. Ia sudah memiliki dua lokasi perumahan yang jadi kandidat. Dua-duanya merupakan perumahan nonsubsidi. Karena bukan rumah subsidi, soal harga sudah bisa ditebak, pasti jauh lebih mahal.
Karena itu, Ari yang berprofesi sebagai karyawan swasta harus menghitung secara cermat besaran uang muka dan angsuran disesuaikan dengan kemampuan finansialnya.
Dua kali bertandang ke kantor pemasaran perumahan yang diinginkan, ia mencoba menanyakan simulasi cicilan rumah, lengkap dengan uang muka dan besaran cicilan tiap bulan serta berapa lama masa kreditnya. Awalnya komunikasi dengan bagian marketing perumahan secara face to face berjalan lancar. Sang marketing menjelaskan dengan wajah gembira, senyum ramah full dan bersemangat. Ini yang kemudian membuat Ari jatuh hati dengan perumahan tersebut. Sambutan sang marketing! Lantas komunikasi pun berlanjut melalui jaringan pribadi WhatsApp.
Dua, tiga, empat kali Ari masih dilayani dengan sangat baik dan professional oleh staf marketing perumahan tersebut. Setiap permintaan simulasi kredit rumah blok mana pun dilayani dengan baik. Ini membuat Ari semakin yakin bahwa mengambil rumah secara kredit di perumahan tersebut adalah keputusan yang tepat.
Sadar bahwa harga rumah yang akan dicicil bukanlah nilai yang kecil, ditambah masa kredit yang mencapai belasan hingga puluhan tahun, Ari masih mencoba menimbang-nimbang blok yang akan diambil. Blok depan, harganya tentu lebih mahal, blok yang lokasinya dekat masjid dan kolam renang, harganya juga beda. Blok belakang, harganya rada miring tetapi jauh dari pintu gerbang perumahan.
Ia pun jadi galau, mau pilih unit yang posisi di depan, atau dekat masjid, atau dekat kolam renang atau paling belakang. Ia pun terus meminta simulasi harga kepada staf marketing perumahan. Lima, enam, tujuh kali masih mendapatkan pelayanan dengan baik. Lalu pada permintaan simulasi unit rumah yang ke-10, Ari dibuat kecewa. Pasalnya staf marketing meminta Ari untuk booking unit dulu baru minta simulasi harga unit perumahan.
"Dari kemarin cuma minta simulasi harga unit, kapan bookingnya Pak. Kami akan layani Bapak kalau sudah booking," jawab staf marketing perumahan dari ujung telepon dengan nada kesal.
Ari kaget mendapati jawaban sang marketing. Baginya pertanyaan demi pertanyaan yang memang sangat mendetail penting dilakukan. Mengingat yang mau dibeli adalah rumah, tempat ia bakal tinggal bersama anak dan istrinya. Selain masalah lingkungan, hal utama karena ia akan membeli rumah secara kredit. Itu artinya ia akan menanggung beban cicilan dalam jangka waktu yang lama yang tentu berpengaruh terhadap kondisi finansial keluarga.
"Saya kan bukan beli kacang goreng. Saya beli rumah yang nantinya akan jadi beban finansial saya belasan sampai puluhan tahun yang akan datang. Wajar kalau saya tanya mendetail," kata Ari yang akhirnya urung membeli property di perumahan tersebut.
Ari pasti bukanlah satu-satunya calon debitur yang mendapati perlakuan tak ramah dari marketing perusahaan entah itu property, otomotif maupun perusahaan lainnya. Ada banyak Ari-Ari lainnya yang mengalami kisah serupa. Mereka yang sejatinya ingin bertindak hati-hati agar kredit yang diambil tidak menjadi bumerang keuangan keluarga dikemudian hari, harus mendapati sikap marketing perusahaan yang tidak ramah dan enggan melayani.