Sejak duduk di bangku SD hingga SMP, si bocahku terhitung pandai untuk ilmu sains. Malah langganan dikirim sekolah untuk mengikuti ajang olimpiade sains mulai dari IPA sampai matematika. Bahkan pernah juga lolos dua level kompetisi Bahasa Inggris tingkat SMP di Kota Jakarta Selatan.Â
Segudang prestasi tersebut mengantar si bocah mendapatkan beasiswa dari perusahaan tempat saya bekerja. Beasiswa diseleksi atas dasar kemampuan dan prestasi akademik.
Dengan prestasi menonjol di bidang sains, maka ketika masuk SMA, si bocah mantap memilih jurusan IPA.Â
Yes, itu pilihan dia, meski berkali-kali saya sebagai ibunya menanyakan apakah sudah mantap dengan pilihan jurusannya.
Dia beralasan ingin melanjutkan studi ke jurusan arsitektur. Entah apa menariknya. Kalau saya sebagai ibu, macam orang-orang zaman old, kebanyakan maunya ya si bocah jadi dokter. Mau dokter umum, dokter gigi atau dokter hewan sekalipun. Maafkanlah...
Proses menapaki masa-masa seragam putih abu-abu pun dimulai, tahun pertama berjalan normal. Hingga pada tahun kedua, si bocah seperti mulai menunjukkan minat menggambar.Â
Pelajaran sains yang awalnya begitu menonjol, mendadak terjun bebas. Hingga saya sebagai ibunya, jadi langganan guru BK. Mondar-mandir diminta mendengarkan keluhan para guru.
Puncaknya usai kelulusan SMA, si bocah tak lagi mau melanjutkan bimbel IPA-nya. Ia malah membeli buku-buku panduan SBMPTN jurusan soshum.Â
Dia lakukan secara diam-diam. Beli melalui toko online. Dan dia pun mulai buka-buka YouTube pembahasan soal-soal SBMPTN kelompok Soshum.
Well, ketika memilih jurusan saya rada kaget sebenarnya, karena dia malah mencari jurusan seni rupa.Â