Seorang kawan menghubungi saya, minta pencerahan terkait anaknya yang baru mau masuk Sekolah Dasar (SD).Â
Sebenarnya rencana awal si kawan ini mau memasukkan anaknya di SDIT dengan alasan biar dapat muatan pelajaran agamanya lebih banyak. Tetapi rencananya tersebut urung dilakukan setelah mengetahui biaya masuk SDIT cukup menguras isi dompet.
Well, dia pun jadi bingung. Melalui sambungan telepon, si kawan pun minta saran dan masukan. Satu sisi ingin memberikan bekal ilmu agama yang lebih banyak, namun sisi lain kondisi keuangan keluarganya belum mendukung.Â
"Dengan mata pelajaran agama hanya dua jam sepekan di sekolah umum, apa yang bisa diperoleh anak saya. Sedang saya sendiri minim ilmu agamanya," tuturnya.
Ketika saya menyodorkan Madrasah Ibtidaiyah alias MI, si kawan pun menolak. Alasannya, takut nanti ketika mau masuk SMP Negeri melalui jalur zonasi mendapatkan kesulitan.Â
Saya pun tertawa, sebab dua anak saya kebetulan memang jebolan MI dan MTs. Dua-duanya tak masalah ketika mau melanjutkan ke sekolah jenjang berikutnya. Sekolah negeri malah.
Sebenarnya 7 tahun lalu (saat ini anak saya SMP kelas 7), saya memasukkan anak ke MI bukan faktor sengaja.Â
Ini saya lakukan setelah mendaftar di SD Negeri yang lokasinya hanya 50 meter dari rumah ditolak gara-gara usia belum genap 6 tahun.Â
Meski secara zonasi, anak saya menang jauh. Tetapi terbentur usia akhirnya saya mengalah mencari sekolah yang lebih jauh dari rumah.
Akhirnya pilihan pun jatuh ke MI swasta yang jaraknya tidak sampai 1 KM dari rumah. Melalui serangkaian tes seperti baca tulis hitung, hafalan surat pendek dan menulis huruf Arab, akhirnya anak saya lolos dan diterima di kelas 1.Â