Entah karena mau bulan puasa, entah karena efek pandemi, entah karena iklim politik global, entah karena ancaman perang dunia ke-3, entah persoalan lain. Yang jelas setelah minyak goreng naik harga, tempe tahu naik harga, telor naik lagi meski sempat turun sebentar, kini gas elpiji pun menyusul. Pagi-pagi saat menyambangi warung sembako di gang PLO, mak-mak kaum dasteran ramai membahas kenaikan harga gas elpiji nonsubsidi.
Saya memang sudah menebak sebelumnya. Secara saya sepekan lalu membeli gas isi 12 kg saja sudah naik harga dibanding sebulan sebelumnya. Dari harga Rp155.000 menjadi Rp168 ribu per tabung isi 12 kg atau naik harga Rp13.000. Dan kini harga yang digantung di depan warung sudah berubah lagi menjadi Rp199.000 per tabung!
Seperti biasa, naiknya harga gas pun kali ini menjadi topic hangat di kalangan kaum dasteran. Pagi buta saat berbelanja di warung, mak-mak berdaster seperti mendapatkan amunisi baru untuk mencaci maki elit politik sekaligus juga pemerintah. Mulai dari yang gak amanahlah, yang gak peduli wong ciliklah, yang ga sensitiflah, yang jadi budak pengusahalah sampai negeri salah urus. Deretan nama pejabat, nama menteri, nama konglomerat sampai pada akhirnya nama presiden pun masuk dalam presentasi ala kaum dasteran.
Komentar, jangan tanya jumlahnya. Kaum ibu yang datang silih berganti semua kasih komentar, dari yang landai sampai yang pedas bak cabe rawit. Ramai warung sayur di gang PLO pun kembali menyeruak setelah hampir sepekan reda paska kembalinya si tempe dan tahu di keranjang belanjaan.
Tapi percayalah, 90 persen mak-mak yang mengomentari kenaikan harga gas, bukanlah pemakai gas nonsubsisi. Mereka umumnya adalah para pengguna gas melon alias gas subsidi. Kalau kemudian mereka ikutan komentar, ikutan mencaci maki, itu semacam mumpung ada panggung. Lumayan, panggung tiba-tiba terbuka, dan segala jenis rasa gemes itu pun bertubi-tubi meluncur dari bibir mak-mak yang belum dipoles gincu.
Wajarlah kalau mak-mak berdaster menikmati berbagai presentasi dadakan. Secara mereka belakangan ini memang sedang jadi sasaran amukan harga. Kenaikan atau tepatnya perubahan harga datang memberondong bertubi-tubi dari segala segala jenis barang. Semacam perang dunia ketiga sudah mulai menyambangi dompet mereka.
Panggung dadakan meski hanya sekadar di emperan warung sayur yang jam bukanya saja cuma dari subuh hingga menjelang dhuhur. Tapi tak mengapa. Bukankah mengeluarkan pendapat, dimana pun itu menjadi bagian dari demokrasi. Bukankah dari panggung dadakan kelas warung ini mak-mak bisa lega terbebas dari sesak yang menghimpit dada? Bukankah dari panggung dadakan kelas warung ini mak-mak dapat menimba ilmu elitan sedikit di atas materi pelajaran anak SD dan SMP?
Mak-mak tak pernah berpikir apalagi mimpi bahwa unek-unek mereka bakal sampai ke telinga pengambil keputusan di negeri ini. Apalah arti dari suara mak-mak dasteran. Lengkingan suara para adik mahasiswa melalui 1000 toa yang notabene memiliki otak lebih encer saja kadang bisa senyap di negeri ini. Analisa para ahli yang gelar akademiknya berderet dari depan hingga belakang kartu nama saja, sering terabaikan. Bagaimana juga suara kaum dasteran mau mengambil peran?
Panggung dadakan di warung sayur masih saja ramai meski jam sudah menunjukkan pukul 06:00 WIB. Jam yang mestinya mak-mak sudah pada pulang untuk menyiapkan sarapan bagi anak-anak meski sejauh ini masih sekolah PJJ.
Bisa jadi kenaikan harga gas nonsubsidi memang amat menarik. Ya, mak-mak sadar bahwa setelah harga gas elpiji nonsubsidi naik, mereka harus bersiap menghadapi efek dominonya. Pertama, kenaikan harga gorengan, kenaikan harga bakso, kenaikan harga soto, kenaikan harga nasi uduk, gado-gado, ketoprak, nasi ulam dan camilan yang sulit untuk dihindari. Secara para pedagang makanan umumnya menggunakan gas nonsubsidi agar tak bertumpuk tabung gas di dapur. Jangan-jangan tariff listrik juga antre untuk penyesuaian harga!