Dear tempe...
Hari ini kamu resmi menghilang dari warung dan gerobak tukang sayur bersama kolegamu, tahu. Baru sehari kamu menghilang, warung dan gerobak tukang sayur sudah berisik.Â
Diskusi ala makmak terkait hilangnya kamu pun teramat meriah. Saling memberikan info-info terkini sebab musabab kamu menghilang. Tentu dengan bahasa yang sederhana ala makmak. Info-info yang pasti bukan diperoleh dari bangku sekolah, apalagi kelas pelatihan.
Info-info tersebut 100 persen diramu makmak dari group media sosial yang mereka ikuti. Ada yang memaki-maki membawa-bawa nama presiden, itu pasti. Ada yang memaki-maki membawa deretan konglomerat, nama menteri, itu juga muncul.Â
Bahkan ada juga yang bikin analisa macem pengamat politik. Tempe mahal karena pemerintah mau naikin harga kedelai. Kedelai mahal karena stok dalam negeri kosong dan mau tak mau harus buka kran impor. Entah dari mana makmak berdaster itu pada belajar.
Wajarlah kalau makmak senewen. Mereka pun rela menghabiskan sekian banyak waktunya untuk kumpul di kios sayuran, dan di depan gerobak tukang sayur di pagi buta demi memenuhi syahwat keingintahuannya.Â
Bagaimana tidak, sebelum kasus kamu dan kolega  menghilang, makmak baru kelelahan antre minyak goreng yang hingga kini masih langka. Mereka terpaksa antre agar mendapatkan harga minyak yang miring, eh harga semula.
Belum juga hilang lelah akibat mengantre minyak goreng, kini dihadapkan pada fakta bahwa kamu dan kolegamu si tahu pun menghilang. Lantas bagaimana makmak mau menghias meja makan? Mau pakai ayam goreng dan telur?Â
Jangan salah, dua komoditi tersebut juga mahal. Apalagi telur, belum berselang lama harganya meroket sampai 30 ribu per kg. Entah apa sebab. Mungkin ayam-ayam cuti akhir dan awal tahun sehingga nggak sempat bertelur.