Aku tersenyum jengkel melihat tumpukan rengginang di toples. Sudah empat hari ini, dari balik kaca toples berbentuk panjang menjulang, makanan terbuat dari ketan itu menggodaku. Tepatnya meminta aku untuk memakannya.
"Makan dikit aja, nggak bakal nambah berat badanmu," bisik secuil rengginang yang duduk paling pojok bawah toples.
"Udah ambil aja aku, renyah dan baru digoreng. Ntar nyesel lho," rajuk rengginang yang duduk di posisi paling atas. Masih utuh berbentuk lingkaran.
Suara berisik para rengginang ku abaikan. Aku mencoba fokus pada pekerjaan di layar laptop. Meski sesekali mataku mencuri pandang pada toples rengginang. Deretan gigi rengginang menyeringai.
"Aih seriusan nggak mau cobain kami?" rajuk rengginang lagi. Seperti koor, suara bersamaan menyeruap dari dalam toples kaca.
Kepalaku menggeleng. Bersikeras untuk tidak mencicipi rengginang barang sepotong pun. Hari ini adalah permulaan tobatku untuk tidak lagi ngemil disembarang jam. "Harus bisa, harus konsisten, harus istiqomah," aku membatin.
Keputusanku jaga jarak dengan rengginang dan kawan-kawan ku lakukan setelah timbangan badan yang ku letakkan di kolong tempat tidur jarumnya cenderung bergerak ke kanan setiap aku berdiri di atasnya. Entah karena badanku memang sekarang melar entah karena timbangan sedang eror. Harapanku sih kondisi kedua, timbangan eror sehingga laporannya tidak valid.
Tetapi terus terang, sejak jarum timbangan ke kanan nggak pakai kira-kira, sampai 10 kg dibanding setahun lalu, aku memilih berhati-hati. Waspada sejak dini sebelum semuanya terlambat. Lebih baik jaga jarak dengan rengginang si penggoda iman termasuk camilan lain yang berderet di meja makan.
Ku buang? Oh amat sayang. Rengginang baru ku goreng belum genap sepekan, atau dua hari menjelang aku memulai diet gorengan. Selain itu rengginang jadi pengganti kerupuk yang memang enak untuk teman makan nasi. "No ngemil, tapi boleh untuk teman nasi," bisikku dalam hati melindungi sang rengginang dari amukan sang tangan. Padahal nasi dan rengginang sama-sama penyumbang karbo tinggi. Begitulah.
Bisa jadi menyalahkan rengginang menjadi perilaku kejam yang pernah kulakukan terhadap makanan sepanjang aku berumah tangga. Biasanya, apalagi sejak banyak beraktivitas di rumah, segala jenis makanan cenderung ku sayang. Sayang untuk dibuang, sehingga aku rela menjadi 'tong sampah' ketika anak-anak tak habis makan. Atau makanan yang banyaknya 'tanggung' untuk disimpan.