Saya mengakui belum bisa move on, seperti belum ikhlas mengapa Syekh Ali Jaber harus berpulang lebih cepat. Mungkin rasa itu terjadi pula pada orang lain.
Tetapi video-video yang menyebar di media sosial tentang kepergian ulama kelahiran Kota Madinah itu bertebaran. Bukti bahwa saya tidak sedang mimpi, tidak sedang berhalusinasi. Dan saya harus berani menghadapi realita, ulama yang selama ini tausiyahnya menemani kegiatan masak saya setiap usai Subuh, kini benar-benar telah tiada.
Move on, ikhlas memang bukan hal mudah. Padahal berulangkali saya memutar video tentang keihlasan, tentang kematian yang disampaikan Syeh Ali Jaber. Tetapi saya mengakui tidak mudah. Itu mungkin mengapa saya jadi semakin sulit untuk move on, menghadapi realita. Karena belajar ikhlas saya masih membutuhkan 'bimbingan' Syekh Ali Jaber lebih banyak lagi. Saya membutuhkan tausiyah-tausiyah keihlasan yang lebih banyak, lebih banyak dan banyak lagi.
Saya tidak mengabaikan ulama lain. Tentu. Karena Syekh Ali Jaber hanya satu dari sekian banyak ulama yang tausiyahnya menemani aktivitas harian saya. Terutama usai shalat subuh, usai membaca Al Qur'an.
Tetapi materi-materi tausiyah yang disampaikan memang banyak menyentuh problema keseharian saya baik sebagai ibu, perempuan, istri juga warga masyarakat dan hamba Allah. Saya banyak belajar, saya mulai banyak mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Syekh Ali Jaber tentu juga ulama lainnya, telah membuat saya untuk jauh lebih berhati-hati menjalani hidup. Meski selama pandemi saya banyak di rumah. Tetapi banyak dirumah tidak menjamin kegiatan ghibah bisa ditiadakan. Ada whatsApp, ada media sosial. Dari media-media berbasis teknologi canggih itu, kadang tidak sadar melanjutkan kegiatan ghibah.
Belum lagi zina. Duh, zina itu sering tanpa sengaja saya lakukan. Atau kadang karena penasaran, saya tanpa sadar terseret dalam perbuatan zina.
Zina disini bukan melakukan hubungan seks diluar nikah ya. Sebab sejumlah ulama bilang zina itu bisa meliputi zina mata, zina telinga, zina kaki dan lainnya. Zina mata terjadi ketika kita dengan sengaja memandangi foto atau konten video yang tidak senonoh, memperlihatkan aurat orang lain dan itu mendatangkan kenikmatan sendiri bagi yang melihatnya. Dosanya, sama besar.
Karena konten tausiyah Syekh Ali Jaber yang menarik, membuat saya semakin kehabisan waktu untuk melakukan hal yang sia-sia. Menonton sinetron, membaca berita gossip, apalagi berita-berita sampah dari panggung hiburan yang mengumbar aib orang lain. Duh, saya taubat dan perlahan mulai meninggalkannya. Saya banyak dibantu oleh tausiyah-tausiyah para ulama ini untuk mengingat tentang Allah, tentang hidup, tentang kematian. Saya dibantu untuk mencoba introspeksi diri.
Saya juga diajarkan bagaimana mencintai Al Qur'an dengan cara-cara yang sederhana. Tidak melulu menjadi seorang penghafal Al Qur'an, bentuk cinta kita bisa dilakukan dengan cara yang beragam. Meski dalam usia saya yang sudah tidak lagi muda, saya selalu berharap bisa menjadi penghafal 30 juz Al Qur'an. Bukankah semua serba mungkin ketika Allah sudah menurunkan pertolongan? Semudah Syekh Ali Jaber menguasai Bahasa Indonesia yang ternyata tidak pernah dilakukan di lembaga kursus. Semoga Allah mengijabah keinginan saya menjadi penghafal ayat-ayat Al Qur'an.
Benar kata teman, Google mengikuti perilaku kita di dunia maya. Karena itu sejak saya rutin membuka konten-konten tausiyah para ulama ini, dengan sendirinya media sosial saya terutama facebook juga banjir tayangan tausiyah. Dan saya senang dengan 'kecanduan' tausiyah ini.