Tulisan ini dibuat hasil refleksi dari salah satu rekaman suara (podcast) yang ada di aplikasi inspigo. Inspigo adalah aplikasi yang berisi rekaman suara yang berasal dari berbagai narasumber ahli di bidangnya.
Narasumber ini diundang kemudian dibuatlah rekaman suaranya. Rekaman yang saya jadikan referensi adalah rekaman mengenai tema "belajar memaafkan" oleh dr. Jiemi Ardian.
Dokter Jiemi ini adalah seorang psikiatris dan hipnoterapis. Dia membahas mengenai topik MAAF ini dari sudut pandang penelitian.
Maaf ini mungkin terdengar mudah untuk dilakukan. Apalagi menjelang idul fitri. Berlomba lomba semua orang meminta maaf. Bahkan orang yang tidak begitu kita kenal saja, minta maaf. Maaf lahir bathin, katanya.
Padahal maaf ini bentuknya lebih personal. Permintaan maaf ini kalau mengutip dari podcast "pemaafan itu tidak butuh orang lain untuk memaafkan"
Maksud dari kata kata tersebut ialah pemaafan adalah proses melepaskan rasa sakit. Rasa sakit itu ada di dalam diri sendiri. Jadi membebaskan diri dari perasaan negatif atau rasa "sakit" (dendam, iri, dengki, marah) adalah arti dari memaafkan.
Jika dikaitkan dengan idul fitri. Idul fitri adalah momen untuk saling memaafkan. Setelah berpuasa kita menjadi kembali "manusia baru" yang katanya harus saling memaafkan. Budaya itu yang dibangun.
Padahal kalau berkaca, mungkin saja pada saat idul fitri sebenarnya masih ada hal yang memicu kemarahan.
Omongan dari keluarga mengenai "kabar". Omongan basa basi seperti:
"Gimana skripsinya, kok lama banget gak selesai selesai?"
"Udah selesai kuliah, udah kerja. Nunggu apalagi"