nasib. Ada nasib mujur dan juga sebaliknya.
Tentang permainan hidup di dunia, tak elak berkaitan denganTak jarang bagi yang bernasib sebaliknya, melirik seorang yang bernasib mujur, dan disanalah pikiran kita mulai mengelabui.
Membanding-bandingkan nasib diri seorang yang merasa tidak mujur dengan seorang yang jadi sasaran pikiran kita pun dimulai.
"Kok dia bisa sukses gitu sih? Kenapa aku tidak sukses seperti yang dia raih?"
Semakin liar pertanyaannya.
"Apa sih istimewanya dia dimata orang? Bukannya aku juga lebih istimewa dibanding dia?"
Semakin goyang iman kita.
"Kok Tuhan gak adil sih? Aku juga kan sama usaha seperti dia? Kok dia yang lebih beruntung sih?"
Makin menghakimi ucapan kita.
"Kalau Tuhan saja sudah tidak adil kepada hambaNya. Maka akupun bisa berlaku tidak adil pada dia yang sudah membuatku merana! Akan ku jegal usaha dia! Biar tahu rasa!"
Disanalah aksi kurang etis dari diri kita dilancarkan. Pikiran yang mengelabui kita, pertanyaan kritis yang dilontarkan pikirannya malah menipu dirinya sendiri. Makin membuat merana sang pendengki. Karena hasil dari perbuatan dengki tentu akan menggerogoti karakter diri yang selama ini kita bangun. Dan akhirnya kerugian bathin yang diterima kita.
Coba kalau kita mengkritisi apa penyebab nasib kita tidak mujur, tak perlu membanding-bandingkan dari seorang yang lebih maju dari kita.
"Mengapa aku bernasib apes nian? Banyak banget masalahku ini Ya Tuhan!"
"Apa yang menjadi penyebab diriku makin dipenuhi banyak masalah?"
"Apakah aku tidak jujur pada diriku sendiri, dan pada sesama hidup, juga padamu Ya Tuhan? Sehingga masalah ini makin menguasai diriku?"
"Apa penyebab aku menjadi tidak jujur? Apakah aku ini tidak kompeten dengan masalah yang kuhadapi?"
"Jadi masalahnya ada di luar diriku atau di dalam diriku? Kenapa aku sibuk menyalahkan luar diriku, padahal masalahnya ada dalam diriku!"
"Apakah aku kurang belajar? Kurang membaca? Kurang berbuat kebaikan pada sesama? Bahkan kurang ajar pada sesama?"
"Apakah aku kurang melatih kemampuanku yang padahal sangat aku kuasai? Apa sebenarnya yang diriku cari selama ini?"
"Mengapa aku sibuk membuang-buang waktuku pada hal percuma? Dan mengeluhkan masalahku pada orang banyak? Padahal mereka juga sibuk dengan urusan-nya masing-masing?"
"Jadi apa sebenarnya akar permasalahannya wahai diriku!"
"Oh aku sekarang aku tahu jawaban yang tepat."
"Aku harus memperbaiki diri."
"Agar menjadi pribadi yang lebih baik."
"Dimulai dari kata-kataku yang tersusun."
"Dimulai dari apa yang aku baca untuk keluasan wawasanku?"
"Dimulai dari apa yang mesti ku ucap dan jangan ku ucap?"
"Dimulai dari apa yang mesti ku perbuat untuk yang hidup, termasuk kepada diriku?"
"Dimulai dari kebiasaan apa yang mesti kujadwalkan?"
"Dimulai dari pilihan karakter seperti apa yang mestiku aplikasikan dalam keseharian?"
"Aku mesti berkemampuan."
"Agar masalah bisa kupecahkan!"
"Saat itulah orang-orang memaknai segala perbuatku."
"Dan mereka semua memperlakukanku."
"Sesuai apa yang ku perbuat."
"Disanalah aku menerima nasibku."
"Dan merasakannya."
"Karena semua berasal dari diriku."
Tertanda.
Rian.
Cimahi, 26 September 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H