Insting manusia kebanyakan membuatnya lebih senang mendengar apa yang ingin didengar.
Fenomena Polisi tembak Polisi membenarkan ungkapan diatas. Fear Of Missing Out (FOMO) menjadi salah satu faktornya. Akibatnya Kebenaran yang menyakitkan itu tidak menjadi sorotan yang menarik untuk disimak. Lebih baik membaca sesuatu yang meyakinkan padahal hal demikian adalah kebohongan yang menarik banyak orang.
Hingga pada akhirnya masyarakat yang merasakan dampak dari apa yang ia dengar dan baca dari media sosial. Masyarakat menjadi makin skeptis kedepannya. Masyarakat akan mengkritisi apa benar konten tersebut realita? Dan mulai bertanya dengan penuh sinis.
"Ah itukan dari sosmed. Memang terjamin kebenarannya?"
"Ngonten di sosmed melulu. Kamu mau cari untung ya?"
Efek domino kedepannya. Masyarakat mulai mencari konten-konten baik berupa tulisan, video ataupun audio yang terjamin validitasnya dan bersifat realitas. Opini yang bukan sekadar opini, namun terjamin kebenarannya dan merupakan fakta.
Oleh karena itu yang akan makin dicari kedepannya adalah keotentikan suatu konten dan terdapat nilai-nilai yang relevan dengan realitas.
Apakah kedepannya Media Sosial akan ditinggalkan orang banyak? Dan mulai beralih kepada kehidupan offline kembali? Karena muak dengan tayangan atau konten tidak valid terus menerus menggiring opini masyarakat bukan kepada kebenaran? Kita lihat saja kedepannya.
Ini adalah tantangan bagi para penulis yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Lambat laun sifat skeptis masyarakat terhadap media mulai tumbuh karena era Post-Truth (kebohongan bisa menyamar menjadi kebenaran) di zaman ini. Dimana hoax bertebaran dari media yang disenangi banyak orang, bisa membuat masyarakat mulai meninggalkan selamanya media-media yang sudah di cap telah "Membohonginya".
Tertanda.
Rian.
Cimahi, 18 Agustus 2022.
Indrian Safka Fauzi untuk Kompasiana.
For our spirit... Never die!