Penulis pernah mendengar kisah Bapak Presiden RI Ke-4 yakni Bapak Gus Dur. Semasa kuliah jarang ikut kuliah kelas, beliau selalu ada di masjid untuk beribadah, namun saat beliau mengikuti ujian, nilainya selalu mendekati bahkan sempurna.
Penulis pun pernah mendengar kisah seorang anak yang mampu menguasai berbagai bahasa dimana usianya masih sangat muda, padahal sang anak belum pernah belajar bahasa tersebut.
Itulah ilmu Laduni. Menurut Imam al-Ghazali, seorang tokoh sufi yang sangat populer mengatakan bahwa ilmu laduni adalah ilmu yang diperoleh seseorang melalui proses pencerahan cahaya setelah kesucian jiwa.
Ada 4 ciri seorang yang menandakan di berkati ilmu Laduni yaitu:
- Tidak perlu banyak usaha (belajar) untuk menghasilkan pengetahuan
- Tidak menemukan kesulitan dalam belajar
- Belajar sedikit, hasilnya banyak
- Sedikit lelah dan istirahat yang lama.
Lantas bagaimana perspektif NLP (Neuro Linguistic Program) tentang penjelasan logis Ilmu Laduni?
Menurut Pandangan Bapak Prasetya M. Brata selaku Trainer dan Coach Neurosemantic bersertifikasi sekaligus Founder Intimakna:
NLP atau neuro-semantics tak akan menjangkau ilmu Ladunni, karena NLP atau NS itu ilmu tentang self/nafs ketiga.
Ladunni dilakukan dan dialami oleh self pertama (Ruh) yang memahami sesuatu tidak dengan representational (VAKOG dan framing).
Hanya orang yang meniatkan diri, melatih diri, mungkin saja diberi ilmu itu. Otoritas memberi ladunni juga bukan terletak pada orang itu.
Hal senada dan serupa disampaikan oleh Bapak Sunardi Basuki Widodo selaku Coach NLP sekaligus Pakar Hypnosis Bersertifikasi.
Dan bagaimana perspektif Pengetahuan Meta yang Penulis pribadi kembangkan tentang penjelasan logis Ilmu Laduni?