Pada tahun 2021 lalu, kawan-kawan Adikuasa menggugat Indonesia ke WTO karena Indonesia melarang ekspor bijih nikel. Pertanyaan besar melingkar ada apa gerangan kawan-kawan Adikuasa ini sampai geram dengan kebijakan mandiri Negeri Berkembang?
Pakde sukses memprovokasi Kawanan Adikuasa. Semakin terbongkarnya permainan-permainan ekonomi yang membuat Adikuasa dan kawanannya yang hingga saat ini sangat kuat perekonomiannya.
Rian pernah belajar tentang mekanisme mengapa uang bisa dicetak. Di abad 20 silam (tahun 1999 kebelakang), negeri adikuasa dengan kebijakan The Gold Standard Act of 1900 established gold as the only metal for redeeming paper currency, begitu gencarnya mengeksploitasi emas di negara orang seperti di Indonesia melalui pertambangan Freeport. Ini adalah skema rancangan ekonomi raksasa negeri adikuasa tersebut.
Apabila cadangan emas mereka tertimbun melimpah, saat itu mata uang dicetak berdasarkan keberlimpahan emas. Artinya dikala itu Emas ibarat pohon, dan mata uang ibarat produk dari pohon tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, kebijakan tersebut sudah tidak berlaku, karena Adikuasa memiliki kelimpahan komoditas dan sumber daya mineral. Tentu dengan kelimpahan inilah mata uang adikuasa menjadi salah satu safe haven asset.
Oleh karena itu Pakde Presiden kita mengapa sangat gencar berkebijakan mensupport UMKM? Karena UMKM adalah "Sang Pohon" ekonomi. Semakin produktif "Pohon" tersebut, komoditas melimpah, perputaran uang dan produk begitu lancar dan pesat, bukan sebuah mimpi jika indeks pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menaik pesat pula.
Ekspor saat ini bukanlah segalanya. Untuk apa kita repot-repot mengekspor komoditi hanya demi lembaran uang yang membuat komoditi kita terkuras? Maka kebijakan impor itu sebenarnya lebih baik untuk melimpahkan sumber daya ekonomi negara, yang semakin memperkuat laju pertumbuhan Ekonomi negara. Karena uang bisa dicetak setara dengan kelimpahan komoditi.
Negara-Negara Maju saja begitu antusiasnya mengimpor bahan baku mentah dari negeri manapun, dan tentu kemampuan untuk impor menunjukkan betapa kuatnya perokonomian suatu negara. Nah orang-orang kita masih mempertanyakan "Kok masih impor?" ungkapan ini sudah tidak relevan bagi bangsa kita yang 'on going' menjadi bangsa yang maju dan berdikari.
Mengambil kebijakan ekspor, harus jelas urgensinya. Inilah yang akan membuat bangsa kita dinilai sebagai sang penolong. Seperti hubungan Indonesia dengan Singapura, yang mana kalau Singapura tak segera impor enegri listrik dari Indonesia. Negerinya bisa gelap gulita tanpa listrik.
Sementara berita dari barat terkini. Lihat saja labil nya bukan main... sempet-sempetnya kawanan adikuasa ditengah sanksi isolasi ekonomi untuk Negeri Beruang Merah dari adikuasa. Kawanan adikuasa ini masih 'muka pengen' import Gas Alam dari Negeri tersebut. Alhasil sekarang ini ramai di berita sang Adikuasa akan pasok LNG ke kawanannya.
Ada sebuah konsep menarik dari barat, bahwa komoditi tidaklah menyebabkan inflasi, namun pencetakan mata uang yang berlebihan yang mengakibatkan inflasi. Artinya jika jumlah komoditi sebuah negara tidak setara dengan jumlah peredaran uang di masyarakat valuenya, maka jelas inflasi naik drastis seperti yang terjadi di salah satu negeri benua afrika (Zimbabwe). Yang mana 3 butir telur harus dibayar dengan nominal uang fantastis tinggi sebesar 100 billion mata uang mereka saat itu (per tahun 2008).