Pada hukum positivisme mempunyai sifat yang rasional. Maksud rasional disini ditandai dengan sifat peraturan yang berprosedur atau prosedural. Sifat prosedural hukum ialah keadilan hukum yang formal dan berprosedur, dimana hukum berdasarkan kenyataan, hukum berdasarkan perspektif yang rasional, dan hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku. Pada prosedural hukum ditekankan untuk mengedepankan penegakan keadilan rakyat sebagai bentuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, hukum positivisme juga sangat mengagungkan hukum yang tertulis dan menganggap bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif. Maka semua persoalan dalam masyarakat harus diatur dalam hukum tertulis.
Mazhab dalam Hukum Positivisme
Pada kasus pulau Rempang ini, dikenakan aturan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Maka jika dilihat dari UUD 1945 terdapat pada pasal 18 (B) ayat (2) dan ayat (3), yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Adapun aturan lainnya dalam Pasal 3 UUPA juga menyebutkan tentang penghormatan dan perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat. Selain itu, dalam sistem pengadaan tanah untuk pembangunan (PTUP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 juga telah menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat merupakan salah satu dari pihak yang berhak menerima ganti kerugian (Pasal 40). Pada undang-undang tersebut menjelaskan bahwa ganti kerugian atas tanah ulayat dapat berupa tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat tersebut.
Jika dilihat dari sisi masyarakat suku asli Rempang, permasalahan mereka ialah tidak adanya kepemilikan surat legalitas lahan dikarenakan dari dulu semua kepemilikan ada dibawah otoritas pemerintah Batam. Sehingga mereka tidak dapat membuktikan kepemilikan penuh terhadap tanah tersebut.
Pendapat Mengenai Mazhab Hukum Positivisme dalam Hukum di Indonesia
Menurut saya, persoalan hukum positivisme yang memiliki prosedur hukumnya sendiri, membuat suatu persoalan mengenai keadilan akan sulit didapatkan sebagai HAM. Pada sistem hukum diera sekarang ini, keadilan sudah dianggap diberikan secara hukum positif, namun dalam praktiknya, penggunaaan paradigma hukum positivisme kini banyak menimbulkan kejanggalan sedemikian rupa sehingga pencarian kebenaran dan keadilan tidak pernah tercapai dikarenakan terhalang oleh sifat prosedural. Akibatnya dalam menggunakan hukum positivisme di Indonesia dalam mengintepretasikan berbagai undang undang, maka beberapa kebijakan penegakkan hukum maupun putusan Hakim gagal untuk menghasilkan suatu keadilan yang substansial, melainkan hanya sekedar mampu menghasilkan keadilan yang prosedural. Pada realitanya hukum positivisme di Indonesia sendiri belum mampu mewujudkan keadilan yang substansial. Prosedur hakim ketika dijalankan, ternyata dalam pemenuhan rasa keadilan bisa terhalang oleh prosedur ataupun formalitas.
Dengan adanya persoalan ini, seharusnya hukum positivisme di Indonesia tetap dipertahankan dengan alasan supremasi hukum, walaupun kenyataannya hukum positif menghambat pergerakan rakyat, yang membuat pihak berwenang tidak mampu dalam mengungkap kasus-kasus yang mengantarkan Indonesia. Oleh karena itu, yang sangat diperlukan saat ini adalah membentuk mental dan moral yang berintegritas bagi seluruh pihak baik itu pihak masyarakat ataupun pihak yang berwenang.
Referensi:
Kumar, Paisal, Kasus Pulau Rempang dari Segi Positivisme Hukum, (Jambi: Jambione.com, 19 September 2023), https://www.jambione.com/kolom/1362996685/kasus-pulau-rempang-dari-segi-positivisme-hukumÂ
Hermanto, Ajaran Positivisme Hukum di Indonesia: Kritik dan Alternatif Solusinya, (Jakarta Selatan: Selisik, 2016), Vol.2, No.4, Hlm.115-116.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H