Entah mengapa malam ini, jemariku ingin mengeluarkan semua isi kalbu.
Apa kalian pernah merasakan hal aneh dalam keluarga?
Apa kalian pernah merasakan hal yang kurang di dalamnya?
Aku bingung harus memulai cerita ini dari mana. Aku tidak ingin menunjukkan diriku lemah, atau seakan-akan akulah orang yang paling menderita di dunia ini. Sama sekali tidak. Aku berharap hatiki sedikit lega setelah menuliskan semuanya. Rasa yang kusimpan bertahun-tahun sendiri.
Kala itu, aku belum mengerti apapun. Hal yang kuingat adalah saat aku berusia 5 tahun, aku telah hidup di keluarga ini. Aku senang karna suasana begitu ramai, ada aku, kakak perempuan, 2 kakak lelaki, 1 adik lelaki yang masih bayi dan juga orang tua. Semua terasa lengkap. Tapi aku merasa aneh saat tiba-tiba ada seorang laki-laki datang mengaku dia ayahku.Â
Bayangkan bagaimana rasanya saat anak kecil yang merasa ayahnya berada satu rumah dengannya setiap hari namun tiba-tiba menemui hal demikian. Aku kaget pasti, aku merasa takut untuk bertemu dengan lelaki itu lagi. Kukira dia orang jahat, namun anehnya mengapa ibuku malah menyuruhku untuk ikut dengannya? Â Aku menangis, aku tidak mau. Hingga akhirnya aku di imingi untuk di belikan tas olehnya. Beberapa tahun sama seperti itu lelaki itu hanya mengunjungiku saat hampir tiba hari raya saja.
Hingga aku beranjak remaja, perlahan aku mulai mengetahui situasi ini. Ternyata 1 kakak perempuan dan laki-laki itu bukan saudara kandungku. Aku mengetahui ceritanya ini dari seseorang tanpa berani aku menanyakan langsung pada ibuku.
'nduk, jadi begini ceritanya. Tapi kamu harus kuat ya, janji. Saat usiamu dua tahun. Orang tua mu memutuskan untuk berpisah (sampai saat ini aku tak tau apa alasannya) saat itu usia masmu beranjak remaja sekitar 9/10 tahun. Hingga akhirnya beberapa tahun kemudian ibumu menikah dengan bapakmu yang sekarang'
Pantas saja, aku merasakan perlakuan yang sedikit berbeda di keluarga itu. Meski kuakui mereka baik. Saat duduk di bangku kelas 5 dan 6 aku merasa iri. Saat teman-teman bercerita mengenai kehebatan dan kebaikan ayah mereka. Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak pernah bercerita ria dengan ayah tiriku entah mengapa.Â
Dengan ibuku juga demikian. Aku merasa sendiri. Untung saja bude ku tercinta sangat menyayangiku. Aku lebih nyaman dengan bude dan keluarganya. Bayangkan dengan ayah kandungku saja aku masih merasa takut dan canggung (hingga saat ini) Â dan beliau menikah lagi sekarang. Bertambah kecanggunganku saat tahu istri barunya semacam perhitungan denganku.
Hatiku hancur kembali saat melihat ibuku bertengkar dengan ayah tiri di depan kami anak-anaknya. Saat itu juga aku di ajak ibu mengemasi barang dan pergi ke rumah nenek. Aku tau jiwa ibu juga terguncang. Akupun demikian, aku menyalahkan takdir saat itu. Rasanya terombang ambing tak jelas mau kemana.Â
Keluarga hancur berantakan. Hingga masalah begitu terasa saat aku masuk perguruan tinggi. Ayah Kandung berkata aku harus ikut kursus Jahit karna tak ada biaya untuk kuliah. Ibu juga tak memiliki cukup uang. Disaat itu hidupku seakan berakhir. Semuanya berantakan impian ku seakan terkoyak. Aku tak menyerah melepas cita2ku begitu saja. Aku mencari beasiswa untuk kuliahku. Di awal tahun pendaftaran aku berhutang sana-sini karna beasiswa belum cair. Menjual cicin untuk pergi kuliah di kota sebelah. Berangkat tanpa diantar hanya mengandalkan kenalan dari ustadku di daerah sana. Bisa dikatakan aku kabur.
Aku tau ini tak mudah, tapi karna ini semua aku menjadi pribadi yang lebih kuat. Dan bersyukur atas semuanya.
Aku ingin hanya aku yang mengalaminya, cukup aku.
Jangan sampai apa yang terjadi pada kita juga terjadi pada anak-anak kita nanti