Seorang sosiologis Danah Boyd (Praiser, hal 13) mengatakan bahwa "our bodies are programmed to consume fat and sugars because they're rare in nature.... In the same way, we're biologically programmed to be attentive to things that stimulate: embarrassing, or offensive. If we're not careful, we're going to develop the psychological equivalent of obesity. We'll find ourselves consuming content that is least beneficial for ourselves or society as a whole."Â
Maka, dapat diibaratkan dengan adanya filter bubble, otak kita diprogram untuk mengonsumsi hal yang telah disediakan oleh internet dengan anggapan bahwa informasi itulah yang seharusnya kita konsumsi.
Hal ini mirip dengan teori agenda setting pada era media televisi yang berasumsi bahwa media telah men-setting informasi apa yang seharusnya dikonsumsi masyarakat, dalam artian bahwa yang dianggap penting oleh media juga harus dianggap penting masyarakat, media menyusun susunan prioritas terhadap berita yang ditayangkan (Daryanto, 2014: 140).
Contoh dari fenomena efek filter bubble ini adalah ketika kita mencari informasi tentang jaket, misalnya, di search engine Google, kemudian kita berlama-lama dalam menggali informasi tentang jaket tersebut, lalu setelahnya kita membuka aplikasi media sosial, Facebook misalnya, secara otomatis informasi tentang jaket yang kita cari di Google sebelumnya akan muncul dalam bentuk iklan.
Algoritma yang diciptakan ini memudahkan aplikasi Facebook dalam menyediakan layanan periklanan yang tepat sasaran. Pengguna Facebook sangat banyak dan cukup mudah dipetakan.Â
Apabila diingat kembali, untuk melengkapi profil Facebook kita disodorkan pertanyaan-pertanyaan terkait hal apa saja yang kita sukai, dengan begitu, informasi yang muncul di beranda kita adalah informasi yang kita inginkan.Â
Hal ini sebenarnya bisa dikatakan sebagai dampak positif bagi dua pihak, yaitu perusahaan yang memasang iklan pada laman Facebook. Kemampuan menganalisis dengan cepat dan tepat menjadikan big data banyak digunakan perusahaan besar untuk meningkatkan penjualannya, dengan mengetahui pengguna mana yang membutuhkan produknya, maka membantu perusahaan dalam hal promosi.Â
Pihak kedua yang merasakan dampak positif adalah pengguna Facebook karena dengan adanya filter bubble ini, maka mereka dapat menemukan informasi yang mereka inginkan.
Namun, apa yang terjadi apabila informasi yang ditayangkan hanya berdasarkan apa yang kita inginkan? Artinya masyarakat diisolasi oleh informasi. Ini membuat seseorang tidak mengeksplor apa yang terjadi di luar sana, lebih parahnya lagi bahkan sampai tidak ingin tahu informasi yang tidak berhubungan dengannya (Kalasi, 2018: 124).Â
Saat masa peralihan dari SMA ke kuliah saya masih sering mengakses informasi hiburan yang tidak ada kaitannya dengan politik. Semakin sering saya memakai aplikasi YouTube untuk membuka informasi hiburan yang saya inginkan, semakin saya tertinggal oleh informasi politik dan pada saat itu memang saya tidak begitu peduli. Hal ini membuktikan bahwa efek filter bubble membuat saya tidak peduli dengan berita apa yang terjadi di sekitar.
Selain itu, masyarakat juga bisa mengalami false consensus effect. Bayangkan saja ketika seseorang mengonsumsi informasi yang seragam secara terus-menerus, maka informasi yang muncul dalam berandanya hanya informasi yang memiliki pendapat yang sepandang dengan seseorang tersebut, tanpa memandang masih ada orang yang memiliki pendapat bersebrangan dengannya.Â
Menurut saya, dengan adanya filter bubble ini membuat seseorang semakin percaya bahwa pendapat ia lah yang paling benar dan merasa mayoritas karena artikel yang ia temukan adalah artikel yang mendukung pendapatnya.Â
Padahal, pada kenyataannya bisa saja berbeda karena internet menyembunyikan hal tersebut. Inilah yang disebut dengan false consensus effect yang merupakan efek tambahan dari filter bubble (Kasali, 2018: 124-125).
Namun tetap saja filter bubble ini sangat menguntungkan bagi perusahaan yang memasang iklan di internet karena selain harga yang relative murah dibandingkan iklan di media televisi, internet juga dapat membuat iklan tersebut tepat sasaran terhadap calon konsumen perusahaannya.Â
Pengalaman saya dalam hal ini adalah ketika saya mencari tahu tentang solusi kulit berjerawat yang sedang saya alami, awalnya saya hanya iseng saja mencari informasi tersebut melalui internet.Â
Kemudian di salah satu situs menyarankan saya untuk memakai sebuah paket skincare yang termasuk terkenal, awalnya saya tidak terlalu mempedulikannya, namun setelah saya keluar dari search engine google lalu membuka aplikasi media sosial lain seperti Instagram, informasi tentang paket skincare mengatasi jerawat sangat banyak bermunculan yang membuat saya akhirnya membeli skincare tersebut.Â
Hal ini membuktikan bahwa efek dari filter bubble ini memberikan keuntungan pada perusahaan-perusahaan tertentu karena iklan yang mereka pasang dapat tepat sasaran.
***
Sumber:
Daryanto. 2014. Teori Komunikasi. Malang: Penerbit Gunung Samudera
Kasali, Rhenald. 2018. The Great Shifting. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pariser, Eli. 2011. The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You. New York: The Penguin Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H