Selain itu, masyarakat juga bisa mengalami false consensus effect. Bayangkan saja ketika seseorang mengonsumsi informasi yang seragam secara terus-menerus, maka informasi yang muncul dalam berandanya hanya informasi yang memiliki pendapat yang sepandang dengan seseorang tersebut, tanpa memandang masih ada orang yang memiliki pendapat bersebrangan dengannya.Â
Menurut saya, dengan adanya filter bubble ini membuat seseorang semakin percaya bahwa pendapat ia lah yang paling benar dan merasa mayoritas karena artikel yang ia temukan adalah artikel yang mendukung pendapatnya.Â
Padahal, pada kenyataannya bisa saja berbeda karena internet menyembunyikan hal tersebut. Inilah yang disebut dengan false consensus effect yang merupakan efek tambahan dari filter bubble (Kasali, 2018: 124-125).
Namun tetap saja filter bubble ini sangat menguntungkan bagi perusahaan yang memasang iklan di internet karena selain harga yang relative murah dibandingkan iklan di media televisi, internet juga dapat membuat iklan tersebut tepat sasaran terhadap calon konsumen perusahaannya.Â
Pengalaman saya dalam hal ini adalah ketika saya mencari tahu tentang solusi kulit berjerawat yang sedang saya alami, awalnya saya hanya iseng saja mencari informasi tersebut melalui internet.Â
Kemudian di salah satu situs menyarankan saya untuk memakai sebuah paket skincare yang termasuk terkenal, awalnya saya tidak terlalu mempedulikannya, namun setelah saya keluar dari search engine google lalu membuka aplikasi media sosial lain seperti Instagram, informasi tentang paket skincare mengatasi jerawat sangat banyak bermunculan yang membuat saya akhirnya membeli skincare tersebut.Â
Hal ini membuktikan bahwa efek dari filter bubble ini memberikan keuntungan pada perusahaan-perusahaan tertentu karena iklan yang mereka pasang dapat tepat sasaran.
***
Sumber:
Daryanto. 2014. Teori Komunikasi. Malang: Penerbit Gunung Samudera
Kasali, Rhenald. 2018. The Great Shifting. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.