Mohon tunggu...
Intan Rohmawati
Intan Rohmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Suka membaca, tapi lebih suka makan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dinding Kaca

27 November 2021   10:14 Diperbarui: 27 November 2021   10:28 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keputusan dibacakan. Semua telinga tertuju pada satu suara. Suasana ruang menjadi
hening. Lebih tepatnya menegangkan. Detak jantung bekerja lebih cepat secara keseluruhan.
Beberapa nama mulai disebutkan. Sebagian ada yang lulus dan ada juga yang tidak lulus.
Nomor urutku terakhir. Menjadikan masa penantian dan deg-degan ku lebih panjang. Dalam
masa penantian, aku sudah merasa pasrah. Maafkan aku Mak, Pak.

Indah Larasati LULUS. Hatiku terguncang dengan apa yang aku dengar. Hasilnya
sesuai yang aku inginkan. Tapi air mata ini tetap mengalir. Deras sederas-derasnya, bahkan
sampai sesenggukan. Apa ini yang namanya air mata bahagia? Seperti inikah sensasi ketika
menitikkannya. Baru pertama kali aku merasakannya, kurasa.

Sambil kupeluk erat tubuh Ibuku. Aku bahkan tak punya nyali menunjukkan wajahku.
Entah kenapa aku malu ketika menunjukkannya. Ada senyum yang tergurat di bibirku, dan
mungkin juga ibuku.

Kupeluk erat pula tubuh Bapakku saat keluar dari ruangan. Tak kupedulikan anak-
anak putra yang lewat hendak pulang. Bapak mencium keningku dengan sayang. Dan aku
masih terisak di dada bidangnya.

Aku sangat bersyukur atas kelulusanku dalam ujian sekolah. Masih kuingat juga,
kejuaraanku pada masa lalu. Saaat aku masih duduk di sekolah dasar. Aku berhasil menjuarai
sebuah perlombaan tingkat kecamatan. Begitu melangkah ke tingkat kabupaten, terputus
jalanku. Dan ketika di menengah atas, tepatnya setahun sebelum ujian sekolah aku berhasil
menuarai lomba. Tapi hanya seasrama. Ya dulu itu adalah sebuah pencapaian dan
keberhasilan, bagiku.

***

Aku masih terpaku diam usai mendengarkan ayahku. Ada rasa sakit, atau mungkin
kecewa, sedih? Atau apalah. Kata-katanya masih sangat jelas terekam dalam benakku. Detik
itu juga aku berpikir, tak seharusnya aku menyalahkan ayahku. Tak seharuusnya juga, ayahku
merasa bersalah. Karena tak penting mencari antara siapa yang salah dan siapa yang benar.
Yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapi situasi dan kondisi yamg sudah terjadi
saat ini.

Malam ini, tiba setelah beberapa malam yang berlalu. Kutelfon lagi ke rumah. Baru
ini, ada kesempatan lagi untuk menghubungi orang-orang rumah. Seperti biasanya, aku yang
banyak bercerita. Tapi ingatan ayahku tiba-tiba kembali ke malam itu. Malam ketika aku
berjanji akan menghubunginya lagi setelah melaksanakan sholat jamaah. Tapi ternyata tak
jadi.

"Kemarin katanya mau nelpon lagi. Kok gak jadi Nduk?"

"Ooh itu. Habis ngaji saya ketiduran pak."

"La, mau ngomong apa to sakjane?"

"Anu pak. Eemmm..."

Bingunng aku hendak menjawab. Karena malam itu aku hanya minta do'a restu untuk
mengikuti lomba. Niatku hanya minta do'a, tanpa memberitahu apa yang akan kulakukan.
Tapi malam itu pun tak mengizinkanku untuk bicara.

"Apa to? Anu anu apa? Ngomong sek jelas Nduk."

"Yaudah lah pak. Gajadi kok pak." Aku benar-benar bingung untuk menjawabnya. Takut
mengecewakan bapak. Karena sebenarnya aku sendiri masih kecewa.

"La kok malah gajadi. Bapak malah penasaran ini. Sebenarnya mau ngomong apa to?"

"Nggih pak. Saya mau cerita. Sebenarnya kemarin itu saya mau minta do'a restunya buat ikut
lomba."

"Lomba apa?" tanya bapak antusias.

"Lomba baca kitab pak. Kemarin saya dipanggil ustadzah buat mewakili pondok mengikuti
lomba itu. Tapi ternyata tanggal pendaftarannya sudah ditutup."

"Lah berarti gajadi ikut kamu Nduk?"

"Nggih pak. Saya gajadi ikut lomba. Tapi bukan itu sebabnya."

"Terus karena apa?"

"Pendaftaran memang sudah ditutup. Tapi salah satu santri senior sudah mendaftar atas
namanya. Dia memintaku untuk menggantikannya. Katanya boleh kalau peserta diganti. Puji
tuhan pak, saya masih diberi kesempatan. Setelah itu saya dilatih, bagaimana nanti kalau
maju, cara bacanya, suaranya, intonasinya. Dia juga mengajari saya yang belum saya bisa."
Bapak masih diam mendengarkan.

"Tapi, pas sudah tiba harinya ustadzah kembali mencari orang. Anak baru lulusan dari
pondok ternama. Anak itu dipanggil ke ndalem. Setelah kembali ke kamar, aku tahu kalau dia
yang akhirnya menjadi perwakilan pondok untuk mengikuti lomba. Yasudahlah, memang
belum saatnya. Nggih to pak?"

Bapak diam. Beberapa detik, baru kudengar lagi suaranya.

"Mungkin ini salah Bapak nduk. Ini kesalahan Bapak nduk, tapi kamu yang harus
menanggung bebannya." Suara bapak terdengar berat, hampir terisak.

"Ngomong apa to pak? Saya nggak paham."

"Ini adalah salah bapak nduk. Ini salah Bapak yang sampai saat ini belum mengaqiqahi
kamu."

Aku terkejut mendengarnya. Aku masih belum mengerti ucapan bapak.

"Maksudnya apa pak? Apa hubungannya aku yang belum diaqiqahi?"

"Begini nduk." Bapak kembali terdiam. Aku masih setia mendengarkan. Aku masih tak
mengerti apa yang dimaksud oleh bapak.

"Beberapa minggu lalu, Bapak ikut pengajian. Bapak mendengarkan mauidzoh hasanah dari
Pak yai. Beliau meenerangkan tentang aqqiqah. Memang benar, bahwa anak yang lahir ke
dunia itu masih tergadai hingga disembelihkan hewan aqiqah untuknnya." Bapak berhenti
sejenak.

"Nggih pak. Saya pernah mendengar hal itu."

"Tapi yang membuat Bapak kepikiran nduk, beliau kembali menjelaskan. Beliau bercerita
tentang seseorang yang hendak mmencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa. Lalu orang
itu sowan ke ndalem pak yai. Niatnya meminta do'a restu. Orang itu pun kembali ke
rumahnya. Seperti biasa, Pak yai melaksanakan sholat malam. Ketika tidur beliau bermimpi.
Beliau melihat orang yang sowan ke rumahnya tersebut itu adalah anak kecil yang sedang
bermain-main di suatu tempat yang dibatasi dinding kaca. Setelah mimpi itu, Kiai memanggil
orang itu lagi. Lalu Kiai bertanya pada orang tersebut, apakah dia sudah diaqiqahi? Dia
menjawab, belum. Kemudian kiai menyuruh orang tersebut untuk mengaqiqahi dirinya
sendiri. Beberapa hari kemudian, kiai kembali bermimpi lagi tentang orang itu. Namun
keadaannya sudah berbeda. Dia bukan lagi anak kecil yang bermain dalam dinding kaca.
Kaca itu sudah hilang, dan anak itu sudah bisa bergerak kemana-mana sekehendak hatinya."

Terdengar isak tangis lirih dari seberang sana. Bahkan sangat lirih, hingga terdengar samar.

"Bapak takut kalau kamu sama seperti itu nduk. Seperti anak kecil yang bermain-main dalam
dinding kaca itu. Karena selama ini ketika kamu pengen sesuatu, kamu sering kali tak
mendapatkannya. Padahal kamu sudah berusaha maksimal. Dan untuk saat ini, maaf ya nduk,
bapak belum bisa mengaqiqahi kamu."

"Mboten nopo pak. Semua itu memang belum rezekiku. Allah mboten menghendaki semua
itu. Bapak mboten salah. Kemarin beasiswaku sudah turun. Masih ada sisa pak, cukup kalau
mau dibelikan kambing."

"Ngga usah nduk. Beasiswa itu buat keperluan pendidikan kamu, kuliah kamu. Lagipula,
kalau uang itu cukup buat beli kambing, uang buat belanja lainnnya belum ada nduk. Uang
itu disimpan kamu saja. Aqiqahnya Besok-besok saja kalau bapak sudah ada uang. Kamu
yang sungguh-sungguh belajarnya. Sholat jamaahnya jangan ditinggal. Sholat jamaah itu
membawa keberkahan hidup."

"Nggih pak, insyaa Allah. Doakan Indah selalu ya pak."

"Bapak dan Mamak tak pernah lupa berdoa untuk kamu nduk, untuk mbakmu juga. Yasudah
sekarang kamu segera istirahat, biar besok bisa sholat subuh berjamaah."

"Nggih pak. Assalamu'alaaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Sambungan telepon sudah terputus. Tapi air mata yang dari tadi menggenang malah
meluncur dengan cepatnya. Melintasi pipi, bibir, hingga jatuh dari ujung dagu. Segera aku
kembali ke kamar dan mengikuti perintah dari bapak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun