Mohon tunggu...
Intan Rifiwanti
Intan Rifiwanti Mohon Tunggu... Guru - Human-ist

Menulis adalah salah satu cara yang baik untuk bicara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sexual Harrassment

16 Agustus 2020   12:03 Diperbarui: 16 Agustus 2020   12:02 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (Dok. Pribadi)

Aku punya cerita baru. Temanku (sebut saja Kansa) berkisah kalau hari-harinya semakin konyol. Pertemanannya dengan yang lain ia rasakan semakin jauh walaupun secara jarak begitu dekat. Kansa merasa kesulitan mengimbangi mereka. Dia terpelajar dan cerdas, sementara mereka papa tanpa gelar.

Cerita ini menyadarkanku betapa aku semakin didekatkan dengan topik-topik kehidupan yang cukup sensitif untuk dikisahkan: sexual harrasment.

Suatu ketika, temanku Kansa mengalami kebuntuan ide. Beruntungnya, kami (aku dan dia) memiliki kegemaran mencatat. Namun, kegelisahannya tidak berkurang bahkan setelah berdiskusi denganku. Aku berasumsi, cerita ini pasti menjadi masalah besar dalam hidupnya sehingga kegelisahan tak kunjung lenyap dalam ingatannya. Semua ini masih tentang manusia. Tentang orang-orang yang ia temui. Begini ceritanya.

Di suatu siang bolong, angin segar mempertemukan ia dengan seorang terpelajar. Orang itu sudah lama dikenalnya dengan baik, bahkan sangat baik. Barangkali memang tidak ada kecacatan pada orang itu. Gelarnya lebih tinggi dari Kansa. Ketika bertemu dengan dia, Kansa menunduk takzim sebagai tanda hormat.

Senjang dari pertemuan hebat sebelumnya, kali kemarin Kansa gusar dengan perlakuan terpelajar itu. Bagaimana mungkin seorang terpelajar mengusap kepalanya dengan manja? Berlaku seolah tidak sengaja memegangi tangan Kansa dengan gerakan lembut? Bahkan hampir-hampir membelai wajah dan mencubit hidung Kansa yang mancung. Kansa sungguh tidak habis pikir.

"Dia mengelus kepalaku, Ai," ucapnya lemas menceritakan peristiwa itu.

"Terus, kamu enggak menghindar?" tanyaku geram, tidak terima ada terpelajar yang sudah beristri bisa-bisa mengelus kepala mahasiswanya.

Kansa terdiam. Aku terus mewawancarainya seperti sedang berada di pengadilan. Aku masih belum bisa menerima keadaan ini.

"Tangan kirinya tiba-tiba melepaskan kemudi mobil, lalu dia meraih tangan kananku," sambungnya gemetar takut.

"Kamu diem aja? Enggak berusaha melawan? Kamu tahu kan, itu enggak bener?" tanyaku gemas.

"Dia sempet ngomong sesuatu, Ai," balasnya menggantung.

"Apa katanya? Dia bilang apa? Dia enggak ngajak kamu macem-macem, kan?" aku semakin gemas pada Kansa yang bercerita hanya sepotong-sepotong.

"Dia bilang, andai saja dia muda di masa sekarang," ucapnya terhenti. Kansa menghela napas.

"Maksudnya gimana? Yang jelas dong," tanyaku tidak sabar.

"Dia bilang, kalau dia lebih dulu ketemu aku sebelum ketemu istrinya yang sekarang, aku yang bakal dia jadikan istri," balas Kansa.

"Gilaa, terus kamu percaya sama omongannya?" tanyaku lagi.

"Aku bingung, Ai. Aku benci kejadian itu," dia memasang muka memelasnya padaku.

Kansa melanjutkan kisahnya. Dia terus mengoceh mempertanyakan keterpelajaran seseorang---yang kami sepakat terpelajar. Aku dengan pikiran netral mencoba mendinginkan amarah Kansa. Aku tahu, dia tidak terima dengan perlakuan itu. Namun, apakah Kansa tidak berlebihan mengartikan perlakuan terpelajar yang tidak mencerminkan terpelajar itu? Boleh jadi dia sedang menguji Kansa. Boleh jadi dia hanya bercanda semata. Boleh jadi memang semuanya terjadi tidak sengaja. Bukankah tidak akan ada asap tanpa api? Aku meminta Kansa untuk merenung kembali, apa saja kalimat yang ia lontarkan atau tingkah apa yang dia lakukan sehingga membuat terpelajar itu berlaku demikian sampai membikin Kansa gusar. Well, kalau ada prasangka baik, kenapa kita memilih curiga yang bukan-bukan?

Kemarin yang lalu, seorang terpelajar lain pernah aku wawancarai perihal kebejatannya. Maling mana mau mengaku, meski data menunjukkan fakta betapa rusak seluruh jiwa raganya. Aku menghimpun data dari sumber mana saja, yang jelas sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Semua mengarah pada kebejatan terpelajar itu. Eh, tunggu dulu. Aku lebih suka menghilangkan gelar keterpelajarannya setelah semua fakta menghakimi betapa perlu dipertanyakan gelar doktornya.

Dari dua cerita sensitif itu, aku menjadi semakin merasa, sudah saatnya aku peduli dengan topik ini. Aku bilang pada Kansa, ini semua tidak lepas dari campur tangan Tuhan. Apapun yang terjadi pada dia, itu semua ialah pesan agar kita belajar. Belajar untuk menjaga diri. Pun belajar untuk menjadi pencuriga. Ya, curiga. Curiga itu perlu. Curiga itu penting. Curiga itu dibutuhkan. Asalkan tahu tempat dan porsi. Setiap orang berpotensi melakukan kesalahan. Setiap orang berpotensi merugikan orang lain, kepada orang terdekat sekalipun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun