Beberapa hari lalu, tepatnya Senin sore, Saya berada di antara kerumunan orang-orang yang tengah berlalu lalang di stasiun. Entah yang baru pulang bekerja, sekolah, mencari pekerjaan, pergi jalan-jalan untuk menikmati hiruk pikuk kota metropolitan, atau bertandang ke tempat seseorang. Satu yang pasti. Semuanya, SIBUK DENGAN URUSAN DAN PIKIRANNYA MASING-MASING.
Kala itu, saya tengah duduk di bangku panjang tempat biasa menunggu kereta datang. Kebetulan, posisi yang lebih mendekati bagian ujung stasiun cukup sepi. Hanya Saya yang ditemani sebuah buku bacaan dalam genggaman dan di ujung bangku, seseorang berpakaian cukup formal layaknya orang yang usai wawancara kerja.Â
Tidak lama berselang, datang seorang wanita berparas ayu dengan kisaran usia yang mungkin di atas seperempat abad, menjelang kepala 3. Wanita itu menghampiri seseorang di sebelah Saya. Awalnya, tidak ada yang spesial. Sebagaimana biasa, percakapan antara dua orang itu dimulai dengan, "Kalau ke Cawang nunggu di sebelah sini kan ya?".
Siapa sangka, satu pertanyaan itu mengantarkan pada sebuah percakapan yang cukup panjang di antara dua orang tersebut. Tanpa ada intensi untuk menguping percakapan dua manusia tersebut, tapi jarak yang kurang dari satu meter itu membuat setiap kata yang keluar dari kedua mulut terdengar jelas mendarat di telinga Saya.
Ucapan dari wanita tersebut masih melekat hingga saat ini, kira-kira beginilah yang saya dengar, "Mencari pekerjaan saat ini memang mudah tidak mudah. Banyak lowongan yang dibuka, banyak pula pelamarnya, semakin banyak juga persyaratannya. Saya juga dulu sama. Entah berapa puluh lamaran yang saya kirim. Padahal kalau boleh dibilang, saat kuliah saya cukup aktif, ikut organisasi, lomba, IPK juga bagus. Tapi seringnya di- ghosting.Â
Pekerjaan pertama saya juga jauh dari kata enak dan sesuai. Bahkan saya jobless hampir 3 tahun. Dulu insecure banget, lihat teman-teman yang sewaktu kuliah terlihat biasa saja tapi lebih cepat dapat kerja daripada saya. Benar-benar frustasi dan merasa tidak beruntung. Tidak punya orang dalam atau privilege apapun untuk mencapai karir impian. Rasanya mau ngumpet setiap ketemu orang. Takut ditanya soal pekerjaan."
"Wah.. Tapi alhamdulillah ya Mbak, setelah 3 tahun dapat kerja?"
"Nggak." Jawaban terdengar singkat, padat, dan jelas itu membuat lawan bicara wanita tersebut tercengang. Bahkan, Saya yang tidak ikut terlibat dalam percakapan, yang hanya sekadar menjadi pendengar pun ikut tercengang, "Lalu, setelah 3 tahun melamar sana-sini masih nganggur, Mbak?" tanya Saya dalam hati.
"Di tahun ketiga saya benar-benar frustasi. Mau menyerah. Bahkan Saya tidak berani bertemu orang tua saya. Hanya komunikasi via telepon. Takut ngecewain banget, karena sudah kuliah mahal tapi masih susah dapat kerja. Takut juga ditanya tetangga. Tapi entah kenapa, setelah sekian lama akhirnya saya memutuskan pulang dan bertemu orang tua saya. Saat saya mau berpamitan ke kosan lagi, saya salim ke orang tua saya. Dan orang tua saya bilang, 'Ibu doakan semoga segera mendapat yang terbaik ya, Nak.' Sebenarnya ucapan itu selalu diucapin orang tua saya setiap kali sehabis telepon. Tapi saat itu, mendengarnya secara langsung dan melihat mata beliau membuat hati saya bergetar. Saya kembali ke kosan dengan bekal ucapan itu dan membuat saya sadar, selama hampir 3 tahun selalu gagal mendapat pekerjaan dan merasa tidak akan bisa sukses karena tidak punya privilege, ternyata salah. Sebenarnya saya punya privilege yang sangat besar, dan itu adalah orang tua yang tidak menekan saya, bahkan selalu mendoakan dan mendukung setiap langkah baik yang saya ambil. Habis itu saya bersemangat kembali untuk berusaha."
"Habis itu dapat kerja, Mbak?"
"Nggak."