Mohon tunggu...
Intan Putri Maharani
Intan Putri Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Akuntansi UPN "Veteran" Yogyakarta

Saya adalah seorang mahasiswa Akuntansi di UPN "Veteran" Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Nilai Tukar Dolar AS Rendah: Benarkah Diperlukan untuk Mendorong Ekspor Industri Manufaktur?

12 Desember 2024   15:22 Diperbarui: 12 Desember 2024   15:20 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Nilai tukar adalah harga mata uang asing yang dinyatakan dalam mata uang domestik dan menjadi elemen penting dalam perdagangan global. Kurs memungkinkan negara-negara menerjemahkan harga ke dalam satu bahasa ekonomi yang sama, sehingga fluktuasinya dapat memengaruhi ekspor dan impor secara langsung.

Ekspor berperan besar dalam pendapatan nasional dengan menyediakan devisa, membuka pasar baru, dan meningkatkan daya saing internasional. Dalam konteks Indonesia, sektor manufaktur memegang peran strategis, tetapi fluktuasi nilai tukar, terutama depresiasi rupiah terhadap dolar AS, memberikan dampak yang kompleks. Meski secara teori depresiasi meningkatkan daya saing harga, faktor seperti ketergantungan impor bahan baku dan volatilitas pasar sering memengaruhi hasilnya.

Dalam konteks ini, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kerap menjadi topik diskusi terkait dampaknya pada ekspor industri manufaktur. Sebagai salah satu penggerak utama perekonomian, sektor manufaktur sering dikaitkan dengan daya saing global. Namun, masih menjadi pertanyaan apakah nilai tukar dolar AS yang rendah benar-benar menjadi kunci untuk mendorong ekspor industri manufaktur?

Perspektif Jangka Pendek dan Panjang

Secara teori, depresiasi rupiah dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global karena harga produk menjadi lebih murah dalam mata uang asing. Depresiasi ini sering dikaitkan dengan peningkatan ekspor, sementara apresiasi cenderung menurunkannya.

Namun, hubungan ini tidak selalu linier. Contohnya, selama krisis ekonomi global 2008-2009, meskipun rupiah melemah signifikan hingga 50%, ekspor justru turun 14,97%. Penurunan ini menunjukkan bahwa kondisi makroekonomi global yang melemah dapat meniadakan efek positif depresiasi nilai tukar. Dengan kata lain, daya beli internasional yang rendah dapat menghambat manfaat depresiasi bagi peningkatan ekspor.

Selain itu, dalam jangka panjang, ketergantungan sektor manufaktur Indonesia pada bahan baku impor mengurangi keuntungan dari depresiasi. Biaya bahan baku yang meningkat akibat nilai tukar yang lemah sering kali membebani margin keuntungan eksportir. Oleh karena itu, strategi untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor menjadi prioritas agar manfaat fluktuasi nilai tukar dapat dioptimalkan.

Diversifikasi Pasar

Ketergantungan ekspor Indonesia pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat dan Eropa menghadirkan tantangan tersendiri, mengingat kedua pasar tersebut sudah jenuh dan cenderung stagnan. Diversifikasi ke negara-negara non-tradisional seperti Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika perlu menjadi prioritas. Pendekatan ini tidak hanya membuka peluang baru, tetapi juga membantu mengurangi dampak negatif dari volatilitas nilai tukar.

Selain itu, hambatan birokrasi dan regulasi dalam proses ekspor masih menjadi masalah yang signifikan. Pemerintah perlu mempercepat proses kepabeanan dan menciptakan kerangka kerja yang lebih efisien untuk mendukung para eksportir.

Stabilitas Nilai Tukar dan Kebijakan Insentif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun