Perkembangan dunia fashion kini berkembang sangat cepat di kalangan anak muda. Terlihat jelas di cafe shop menjadi ruang pamer untuk adu outfit para anak muda. Fenomena ini menjadikan anak muda untuk mencapai standarisasi tersebut, namun kenyataannya kalangan anak muda memiliki rasa insecurity yang tinggi. Apalagi wanita di Indonesia mempunyai standard kecantikannya sendiri yang menjadikan persaingan yang tidak sehat dan memunculkan sebuah bullyan.Â
Realita sosial ini kerap kita temui di sekeliling kita, baik itu candaan ataupun disengaja. Perilaku "pick me girl" sering dilakukan karena dirinya memiliki perbedaan dengan perempuan lainnya. Mereka haus akan pujian melakukan perilaku berbeda dengan yang lain dan lebih condong menjatuhkan orang lain agar diterima oleh seseorang atau suatu kelompok sosial.
Saya akan menjelaskan fenomena "pick me girl" yang terjadi di realita sosial pada kehidupan saya. Â Saya mengenal kata "pick me girl" itu ketika saya bermain tiktok, saat itu kata "pick me girl" ini cukup ramai di kalangan anak muda karena memang sering terjadi di realitas sosial mereka.Â
Sewaktu saya berkumpul dengan teman perempuan SMA saya, selepas salat dzuhur biasanya kita para wanita itu tancap make up. Di sela-sela itu teman saya berinsial A memakai bedak tabur bayi, setelah itu teman saya yang berinisial V mengatakan "kok makai bedak bayi, aku kalau makai bedak bayi langsung jerawatan".Â
Secara tidak langsung fenomena ini perlahan-lahan diterima di tengah masyarakat dengan ciri-ciri yang sesuai diperbincangkan di media sosial yang tengah ramai. Dan proses fenomena "pick me girl" tetap akan terjadi di kalangan anak muda dan berkembang secara tidak langsung mengikuti perubahan.Â
Menurut saya, pengalaman ini merupakan coontoh tentang teori konstruksi sosial karena fenomena "pick me girl" ini memiliki keinginan kuat untuk diterima di dalam kelompok sosial ataupun seseorang dengan perilaku yang tidak sehat, namun fenomena ini diterima kebenarannya karena adanya opini dari media sosial yang hangat diperbincangkan dan tetap menyebarkan fenomena ini bahkan dilakukan dari waktu ke waktu.
Saya mengenal teori konstruksi sosial Peter L Berger dan Thomas Luckmann dari buku karya Geger Riyanto tentang "Peter L Berger Perspektif Metateori Pemikiran". Buku ini menjelaskan teori konstruksi sosial sebagai hasil upaya Berger untuk menegaskan kembali persoalan esensial dalam sosiologi pengetahuan-cabang sosiologi yang dianggap mereka telah kehilangan arah.Â
Teori konstruksi sosial adalah menjawab persoalan sosiologi pengetahuan. Manusia cenderung takut mencoba hal baru dengan pembagian kerja yang bisa membuat peranan terhadap institusionalnya. Membentuk diferensiasi yang menjadikan kelompok manusia membentuk institusi yang objektif. Proses pembentukan institusi melalui tiga proses yaitu eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi.Â
Eksternalisasi yaitu sekelompok manusia melakukan sebuah tindakan, jika tindakan tersebut dirasa tepat, maka akan diulang-ulang. Setelah tindakan itu mengalami pengulangan yang konsisten, maka manusia akan merumuskan bahwa fakta tersebut terjadi karena ada kaidah yang mengaturnya, inilah tahapan objektifikasi.Â
Sedangkan internalisasi memiliki fungsi mentransmisikan institusi sebagai realitas yang berdiri sendiri terutama kepada anggota masyarakat baru dengan dipertahankan dari waktu ke waktu, agar status objektifitas sebuah institusi dalam kesadaran mereka tetap kukuh.
Dalam pemahaman saya, teori konstruksi sosial menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya. Individu tersebut menciptakan secara terus-menerus suatu realita yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Realita yang dianggap objektifpun terbentuk melalui proses eksternalisasi dan objektifikasi, sehingga individu dibentuk sebagai produk sosial. Jadi, setiap individu memiliki pengetahuan dan identitas sosial sesuai dengan peran institusional yang terbentuk atau yang diperankannya. Saya akan mendeskripsikan fenomena "pick me girl" di dalam 3 skema proses konstruksi.Â