Rumah di tengah perkebunan itu berdiri megah,  dari mulai pintu gerbang masuk terdapat halaman yang sangat luas dihiasi dengan tanaman-tanaman rindang. Terdapat sebuah bangunan kecil tampak seperti pendopo yang terbuat dari kayu  di pojok sebelah kanan. Jika kita masuk ke dalam rumah akan terlihat
semua perbabotan yang  terbuat dari kayu jati, mulai dari kursi, meja, pintu dan jendela.
Malam mulai merambat, sekeliling rumah dipagari lampu" obor yang membuat terang sampai ke kejauhan. Di depan rumah itu kini berdiri panggung berukuran kira" 30 meter persegi, Â dihiasi kain beludru dan tanaman-tanaman hidup , untaian janur" kuning membuat suasana lebih meriah. Penonton yang sebagian besarnya adalah pegawai perkebunan telah memenuhi pelataran sejak sore. Para pedagang menambah kemeriahan malam yang sepertinya tak akan berujung itu.
Di sudut panggung telah tertata alat musik yg akan ditabuh, Â gendang indung, Â gendang anak, kulanter, terompet dan gong. Sementara di depan panggung berderet kursi peruntukkan para pembesar perkebunan dan beberapa undangan penting di antaranya dari kantor desa dan kecamatan. Tampak beberapa di antaranya telah hadir dan sedang asyik ngobrol, asap rokok mengepul di sela-sela gelak tawa mereka.
Rombongan yang dipimpin Engkus telah sampai ke tempat itu. Mereka menempati bangunan pendopo untuk bersiap-siap. Baju kebesaran telah mereka kenakan. Baju kampret warna hitam lengkap dengan ikat kepala dan sabuk. Tidak ada yang tahu asal-usul mereka mendapatkan seragam itu. Kandi mengenakan sabuk warna emas yang membuatnya lebih gagah daripada teman"nya. Dalam setiap pertunjukkan laki-laki muda itu adalah bintangnya, dia memperagakan jurus-jurus silat dan ilmu kanuragan dengan sangat sempurna. Satu jurus andalannya selalu menjadi penutup pertunjukan, Â yaitu ketika ia dilempar pisau belati tepat di jantungnya. Ia mempercayakan pada Engkus sebagai pelempar pisaunya.
Malam makin larut, tarian ketuk tilu sebagai hiburan pembuka telah disajikan, Â menghangatkan suasana. Para penarinya adalah undangan khusus dari kota kabupaten, sebanyak 6 orang perempuan cantik berkebaya merah berpadu kain sinjang rereng, ditambah seledang, aksesoris berupa gelang dan kalung membuat mereka makin bersinar dalam terangnya lampu. Liukan mereka tak urung membuat beberapa tamu undangan ikut ngibing di panggung.
"Kalian lihat kang Engkus?"
Kandi bertanya pada teman"nya setelah  sejak tadi ia tidak melihat Engkus.
"Tidak Kang" serempak yang ditanya menjawab.
Mereka baru menyadari sejak sampai ke tempat itu, Engkus seperti menghilang.
"Kang!" tiba-tiba seorang dari mereka menghampiri laki-laki muda itu. Kandi menatap heran sebab ia melihat kekhawatiran di mata laki" yang merupakan anak buahnya tersebut.