Mohon tunggu...
Intan Nurcahya
Intan Nurcahya Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa Kabar Tuan? Sebuah Surat yang Tertinggal

25 April 2017   22:33 Diperbarui: 26 April 2017   07:00 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 21 April telah terlewati beberapa hari lalu. Sebenarnya ‘ku ingin menulis surat tepat pada saat itu, tapi padatnya jadwal pelatihan hampir membuat napas tersengal-sengal. Seminggu berkutat dengan lembaran-lembaran kerja yang harus diselesaikan. Bukan hanya karena tanggal bersejarah bagi kaum wanita Indonesia aku memilih tanggal itu, tapi itu adalah tanggalku...dan dia. Aku tidak menulis tentang perjuangan Kartini, bukan karena aku tak menghargai pahlawan emansipasi itu, tapi karena memang aku tak pandai. Dan bukankah sudah banyak yang menulisnya, Kartini dengan segala cerita indahnya. Aku hanya ingin menulis surat seperti Kartini pada sahabatnya. Suratku adalah curahan rindu untuk sang Tuan...suri hidupku.

Tuan, apa kabarmu hari ini, sedang apa sekarang, sudah makankah, bisakah kau tidur tiap malam selama kita berjauhan?, sebab biasanya kau baru bisa tidur lelap setelah aku menggaruk-garuk punggungmu. Maaf, untuk kali kedua di bulan ini aku meninggalkanmu. Seperti inikah emansipasi wanita itu?. Bukan kesetaraan derajat yang kebablasan kan kalau cuma seperti ini?.

Apa kabar anak-anak kita?, apa mereka merindukan ibunya ini?, atau justru senang karena mereka bisa bebas di rumah. Makan dengan apa mereka?, Ah pasti seperti biasanya kau bisa selalu diandalkan, meskipun hanya sebatas  membelikan mereka ayam goreng cepat saji J

Tuan, tanggal 21 April adalah sejarah dalam hidupku, ketika kau datang setelah sahabatmu yang juga sahabatku mengenalkan kita. Kita dipertemukan setelah selang beberapa hari fotoku yang bertemu denganmu, foto yang kubiarkan tanpa editan. Saatnya bertemu denganmu, aku mengenakan kebaya saat itu, seperti Kartini, atau mungkin berjiwa Kartini...yang sedang “sakit”. Tak kupikirkan mataku yang bengkak, bukan karena habis menangis, ah aku tak selebai itu, memang karena aku sedang sakit. Kuputuskan tampil apa adanya, dan tak berharap banyak. Sepasrah itulah aku pada sang taqdir. Jika kau berjodoh denganku, apa artinya penampilan yang biasa ini.

Ketika kuanggukan kepala untuk pinanganmu di depan sahabat-sahabat kita, saat itulah kusandarkan harapanku padamu. Setelah letih dalam kehampaan, terseok berjalan di kesendirian, kau datang mengulurkan tangan. Dari sahabatku aku mendengar niat tulusmu. Kau memilihku dari sekian banyak tawaran karena menurutmu akulah yang paling pantas kau lindungi. Kau pernah bilang begitu trenyuh melihat wajahku dalam foto itu. Menurutmu wajahku sarat dengan kesedihan, ah tau apa kau tentang kesedihanku?. Sedang aku hanya membaginya pada angin, tapi entahlah mungkin angin membisikannya pada awan, dan ketika turun menjadi hujan, ceritaku sampai pada rumput-rumput yang bergoyang.

Cerita berlalu, dan kita menjadi satu. Karakter kerasmu membuatku kadang kelelahan mengikuti irama yang kau tawarkan. Aku shock dan kadang putus asa, semua hal baru yang kau kenalkan adalah tantangan buatku. Tapi bukanlah suatu kebetulan jika Allah menempatkanku di “tempatmu” , melainkan itu adalah yang terbaik. Perlahan aku menikmatinya, kucurahkan pengabdian menjadi istri dan ibu dari anak-anak kita. Dan ternyata baru terasa ketika jauh aku sangat merindumu...

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Tuan, kamarku tepat di depan aliran sungai yang bergemuruh itu, dan itu mengingatkanku padamu, biasanya aku tidak terlalu suka aliran sungai jika itu berkaitan denganmu. Tahu sebabnya?, karena aku tak terlalu suka dengan “mancing mania-mu”, hobby yang menurutku hanya menghabiskan waktu. Tapi kali sungai itu menggugah rasa rinduku. Tadi siang kupandangi aliran sungai itu lama-lama, sepertinya aku melihat sosokmu, dan baru kusadari bahwa mungkin hobby itu tidaklah buruk, meski aku tak yakin dengan filosophi seorang pemancing. Atau entahlah mungkin aku terbawa suasana hati. Kini tak ada keraguan lagi bahwa engkaulah pembawa bahagia itu, dan kupercayakan biduk kehidupanku untuk kau nahkodai ke arah surga-Nya.

Tuan, seperti halnya Kartini, tentu akupun punya mimpi-mimpi, aku ingin berkarya dalam karir dan taqdir yang sedang kujalani. Tentu saja tidak mudah  mewujudkannya meski hanya sebuah mimpi sederhana. Ada ujian dan proses yang harus dihadapi. Namun tantangan ini kini yakin mampu kuhadapi, sebab aku tak lagi sendiri. Ada kekuatan dari cinta yang telah kulabuhkan kepadamu sejak 21 April tepat setahun yang lalu.

25 April 2017,

Di Keheningan Ever Green Village, Cisarua-Bogor

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun