Tanggal 21 April telah terlewati beberapa hari lalu. Sebenarnya ‘ku ingin menulis surat tepat pada saat itu, tapi padatnya jadwal pelatihan hampir membuat napas tersengal-sengal. Seminggu berkutat dengan lembaran-lembaran kerja yang harus diselesaikan. Bukan hanya karena tanggal bersejarah bagi kaum wanita Indonesia aku memilih tanggal itu, tapi itu adalah tanggalku...dan dia. Aku tidak menulis tentang perjuangan Kartini, bukan karena aku tak menghargai pahlawan emansipasi itu, tapi karena memang aku tak pandai. Dan bukankah sudah banyak yang menulisnya, Kartini dengan segala cerita indahnya. Aku hanya ingin menulis surat seperti Kartini pada sahabatnya. Suratku adalah curahan rindu untuk sang Tuan...suri hidupku.
Tuan, apa kabarmu hari ini, sedang apa sekarang, sudah makankah, bisakah kau tidur tiap malam selama kita berjauhan?, sebab biasanya kau baru bisa tidur lelap setelah aku menggaruk-garuk punggungmu. Maaf, untuk kali kedua di bulan ini aku meninggalkanmu. Seperti inikah emansipasi wanita itu?. Bukan kesetaraan derajat yang kebablasan kan kalau cuma seperti ini?.
Apa kabar anak-anak kita?, apa mereka merindukan ibunya ini?, atau justru senang karena mereka bisa bebas di rumah. Makan dengan apa mereka?, Ah pasti seperti biasanya kau bisa selalu diandalkan, meskipun hanya sebatas membelikan mereka ayam goreng cepat saji J
Tuan, tanggal 21 April adalah sejarah dalam hidupku, ketika kau datang setelah sahabatmu yang juga sahabatku mengenalkan kita. Kita dipertemukan setelah selang beberapa hari fotoku yang bertemu denganmu, foto yang kubiarkan tanpa editan. Saatnya bertemu denganmu, aku mengenakan kebaya saat itu, seperti Kartini, atau mungkin berjiwa Kartini...yang sedang “sakit”. Tak kupikirkan mataku yang bengkak, bukan karena habis menangis, ah aku tak selebai itu, memang karena aku sedang sakit. Kuputuskan tampil apa adanya, dan tak berharap banyak. Sepasrah itulah aku pada sang taqdir. Jika kau berjodoh denganku, apa artinya penampilan yang biasa ini.
Ketika kuanggukan kepala untuk pinanganmu di depan sahabat-sahabat kita, saat itulah kusandarkan harapanku padamu. Setelah letih dalam kehampaan, terseok berjalan di kesendirian, kau datang mengulurkan tangan. Dari sahabatku aku mendengar niat tulusmu. Kau memilihku dari sekian banyak tawaran karena menurutmu akulah yang paling pantas kau lindungi. Kau pernah bilang begitu trenyuh melihat wajahku dalam foto itu. Menurutmu wajahku sarat dengan kesedihan, ah tau apa kau tentang kesedihanku?. Sedang aku hanya membaginya pada angin, tapi entahlah mungkin angin membisikannya pada awan, dan ketika turun menjadi hujan, ceritaku sampai pada rumput-rumput yang bergoyang.
Cerita berlalu, dan kita menjadi satu. Karakter kerasmu membuatku kadang kelelahan mengikuti irama yang kau tawarkan. Aku shock dan kadang putus asa, semua hal baru yang kau kenalkan adalah tantangan buatku. Tapi bukanlah suatu kebetulan jika Allah menempatkanku di “tempatmu” , melainkan itu adalah yang terbaik. Perlahan aku menikmatinya, kucurahkan pengabdian menjadi istri dan ibu dari anak-anak kita. Dan ternyata baru terasa ketika jauh aku sangat merindumu...
Tuan, seperti halnya Kartini, tentu akupun punya mimpi-mimpi, aku ingin berkarya dalam karir dan taqdir yang sedang kujalani. Tentu saja tidak mudah mewujudkannya meski hanya sebuah mimpi sederhana. Ada ujian dan proses yang harus dihadapi. Namun tantangan ini kini yakin mampu kuhadapi, sebab aku tak lagi sendiri. Ada kekuatan dari cinta yang telah kulabuhkan kepadamu sejak 21 April tepat setahun yang lalu.
25 April 2017,
Di Keheningan Ever Green Village, Cisarua-Bogor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H