Kesehatan mental pada pria merupakan hal yang hingga saat ini jarang dibahas publik. Padahal, sama hal-nya dengan perempuan, kaum pria juga berpotensi mengalami masalah kesehatan mental. Masyarakat seringkali mengartikan maskulinitas sebagai kekuatan, keberanian, dan ketidakmampuan untuk menunjukkan kelemahan. Pria diharapkan menjadi sosok yang tangguh, mandiri, dan tidak mudah terpengaruh oleh emosi. Namun, citra ideal pria yang begitu sempit ini justru menciptakan tekanan yang besar dan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.
1. Topeng yang Membelenggu
Sebelumnya, banyak penelitian yang menyatakan bahwa maskulinitas seorang laki-laki menjadi salah satu penghambat dalam mencari bantuan psikologis. Terdapat stigma bahwa membuka diri atas distres emosional laki-laki dianggap lemah dan tidak memenuhi standart maskulin. Rasa sakit emosional dan kesulitan psikologis diasosiasikan dengan femininitas dan penyimpangan dari norma maskulinitas tradisional yang mana melihat laki-laki tidak membutuhkan bantuan emosional saat menghadapi situasi sulit. Terdapat dominasi pemikiran bahwa laki-laki cenderung tidak memilih untuk mencari bantuan, khususnya kesehatan mental, karena pemahaman bahwa laki-laki itu harus kuat dan tangguh.
2. Dampak Negatif Toxic Maskulinity
Toxic masculinity ini akan memicu terjadinya kesehatan mental pada pria karena hal ini dapat membatasi definisi sifat seorang laki-laki dan mengekang pertumbuhannya dalam bermasyarakat. Pembatasan sifat ini tentu akan memberikan beban terhadap laki-laki yang dianggap tidak memenuhi standar maskulinitas. Apabila seorang laki-laki dibesarkan melalui pandangan sempit toxic masculinity, mereka hanya akan merasa diterima masyarakat jika sudah memenuhi standar maskulinitas yang berlebihan.
- Depresi: Tekanan untuk selalu tampil kuat dapat memicu perasaan kesepian dan terisolasi, yang pada akhirnya dapat memicu depresi. Seorang akan laki-laki lebih memilih untuk memendam emosinya daripada meminta pertolongan.
- Kecemasan: Ketakutan akan kegagalan dan penilaian orang lain dapat menyebabkan kecemasan yang berlebihan. Dalam hal ini seorang laki-laki lebih rentan untuk bunuh diri.
- Penyalahgunaan Zat: Beberapa pria mencoba mengatasi masalah emosi mereka dengan menyalahgunakan alkohol atau obat-obatan terlarang.
- Kekerasan: Maskulinitas yang toksik sering dikaitkan dengan perilaku kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
3. Mengungkap Diri Sejati
Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan mental yang dipicu oleh maskulinitas toksik:
- Menerima Diri Sendiri: Setiap laki-laki memiliki keunikan dan kelemahannya masing-masing. Menerima diri sendiri apa adanya adalah langkah pertama menuju kesehatan mental yang lebih baik.
- Mengucapkan Perasaan: Tidak ada salahnya untuk mengungkapkan perasaan yang sedang dialami, setiap manusia boleh bercerita. Mencari teman atau profesional untuk diajak bicara akan sangat membantu.
- Meminta Bantuan: Apabila kesulitan mengatasi masalah Kesehatan mental, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional.
- Membangun Jaringan Dukungan:Â Membangun hubungan yang sehat dengan orang-orang terdekat dapat memberikan rasa aman dan dukungan yang dibutuhkan.
4. Membangun Maskulinitas yang Sehat
Maskulinitas tidak harus identik dengan kekuatan fisik dan penekanan diri. Maskulinitas yang sehat adalah tentang menjadi diri sendiri, menghargai orang lain, dan mampu menunjukkan empati. Dengan mengubah pandangan tentang maskulinitas, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi kesehatan mental pria.
Kesimpulan