Â
Intan Nella Salsabila dan Sundahri
Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Jember
Korespondensi: Sundahri.faperta@unej.ac.id
   Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan tanaman asal Brazil dan termasuk kedalam tanaman penghasil lateks atau getah. Tanaman karet merupakan salah satu komoditas perkebunan penting pada sektor pertanian karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Rasyid dan Sugiar., 2023). Hal ini menyebabkan tanaman karet banyak dibudidayakan di Indonesia karena menjadi sumber devisa negara. Indonesia merupakan produsen karet yang mengekspor karet alam ke United States, Jepang, Cina, India dan Korea (BPS, 2022). Permintaan akan karet mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun hal tersebut tidak didukung dengan produksi getah karet yang dihasilkan terutama pada perkebunan karet rakyat.Â
   Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2021), produksi karet kering di perkebunan karet rakyat pada tahun 2020 sebesar 2.278.022 ton mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya pada 2019 sebesar 2.926.613 ton. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan produksi karet pada perkebunan karet rakyat tersebut yaitu banyak tanaman karet yang tua dan rusak (Widyasari dkk., 2015). Rendahnya produksi karet akan berdampak pada pendapatan usahatani karet karena sebagian masyarakat di beberapa daerah menjadikan perkebunan karet rakyat sebagai sumber penghasilkan utama sehingg permasalahan tersebut merupakan faktor yang krusial dalam pengelolaan perkebunan. Usaha yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan tersebut yaitu dengan melakukan peremajaan akan tetapi, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi petani karet dalam mengambil keputusan agar melakukan peremajaan pada perkebunan karet (Surhayon, 2021).
Kondisi Tanaman Karet di Perkebunan Karet Rakyat
  Tanaman karet di perkebunan karet rakyat pada umumnya memiliki kondisi yang kurang optimal. Hal ini ditunjukkan melalui banyak terdapatnya tanaman karet dalam keadaan tua dan rusak sehingga menyebabkan menurunnya produktivitas di lahan karet (Rasyid dan Sugiar., 2023). Hasil penyadapan karet sangat dipengaruhi oleh umur tanaman. Menurut Widyasari dkk (2015), tanaman karet dapat di sadap pada umur 15 hingga 30 tahun. Kondisi normal produksi optimal tanaman karet dalam menghasilkan getah atau lateks antara 25-30 tahun, setelah lebih dari 30 tahun lateks yang dihasilkan akan semakin menurun. Tanaman karet dengan umur tua akan menimbulkan kondisi kulit yang tidak sehat dan persediaan cadangan kulit semakin rendah serta potensi kulit sadap hanya terdapat di bagian atas atau pada cabang dengan ketinggian lebih dari 5 meter (Agustina dan Herlinawati., 2017). Selain itu, produksi di perkebunanan karet rakyat yang rendah juga dapat disebabkan penggunaan bibit yang asal (tidak bermutu dan berstandar) sehingga menghasilkan produksi yang rendah (Astrika, 2017).
  Permasalahan tersebut dapat ditangani melalui peremajaan pada tanaman karet. Peremajaan dilakukan guna meningkatkan produksi dan kesehatan pada tanaman karet. Peremajaan dilakukan dengan mengganti pohon karet yang tua maupun rusak dengan bibit karet baru dengan tujuan meningkatkan produksi karet atau lateks sehingga secara ekonomi dapat menguntungkan (Widyasari dkk., 2015). Peremajaan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu penanaman bibit baru di lahan bekas tanaman lama atau replanting dan penanaman bibit baru di lahan baru atau new planting, pada umumnya petani menggunakan cara replanting. Hal ini disebabkan peremajaan pada lahan bekas tanam memiliki biaya investasi yang tidak semahal saat melakukan pembukaan lahan baru (Agustina dan Herlinawati., 2017). Peremajaan yang optimal dilakukan ketika tanaman karet berumur 25 tahun hal ini bertujuan agar tidak terjadi kerugian oleh petani terkait biaya produksi untuk tanaman karet. Saat melakukan peremajaan tanaman karet maka, dapat menggunakan bibit atau klon unggul untuk meningkatkan produksi tanaman karet. Menurut Koryati (2022), jenis klon unggul yang dapat digunakan yaitu klon unggul IRR 119, IRR 118, IRR 112 dan IRR 107 atau yang dikenal klon unggul seri 100. Hal ini disebabakan jenis klon unggul ini mempunyai kemampuan dalam menghasilkan lateks dan kayu yang tinggi. Jenis klon-klon ini dapat disadap pada umur 4 tahun dan saat akan dilakukan peremajaan akan menghasilkan biomassa kayu yang tinggi sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Produksi 10 tahun sadap untuk IRR 107 sebanyak 19,4 ton, IRR 112 sebanyak 20,5 ton , IRR 118 sebanyak 19,2 ton  dan IRR 119 sebanyak 17,5 ton, tingkat produksi pada klon unggul seri 100 tersebut memiliki hasil yang lebih besar. Selain itu, jenis klon unggul tersebut memiliki rata-rata moderat resisten atau tahan terhadap beberapa penyakit pada tanaman karet seperti kering alur sadap (KAS), penyakit gugur daun yang disebabkan jamur dan penyakit cabang jamur upas. Penggunaan klon unggul saat peremajaan dilakukan perlu dipertimbangkan Penggunaan klon unggul harus dipertimbangkan oleh petani dalam peremajaan karet karena akan mempengaruhi hasil produksi dan pendapatan petani.
Faktor yang Mempengaruhi Petani dalam Pengambilan Keputusan untuk Peremajaan Tanaman Karet
   Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk melakukan peremajaan pada perkebunan karet. Menurut Suharyon (2021), faktor yang menjadi kendala tersebut antara lain seperti minimnya pengetahuan petani mengenai peremajaan karet sehingga berdampak pada petani yang tidak mau melakukan peremajaan. Peremajaan karet membutuhkan biaya yang besar. Banyak petani yang kekurangan modal untuk meremajakan karet terutama pada perkebunan rakyat. Solusi yang dapat dilakukan untuk menghadapi beberapa faktor kendala tersebut yaitu dengan adanya keterlibatan instansi pemerintahan terkait untuk mendukung petani dalam melakukan peremajaan karet seperti program sosialisasi peremajaan, pendampingan penyuluh pertanian dan bantuan dari pemerintah untuk mendukung peremajaan yang dilakukan oleh petani (Astrika, 2017).