Mohon tunggu...
Intan Linggaratri
Intan Linggaratri Mohon Tunggu... -

Kadang, hidup saya terlalu bodoh. Kadang, hidup saya terlalu serius. Tapi yang ga' pernah berubah, saya suka bermimpi, suka coklat, suka kopi, suka nyanyi :)\r\n\r\nwww.intanlinggaratri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengaku Bodoh Pada MELON

9 Maret 2012   05:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:19 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melon yang bulat itu membawaku mengagumi seseorang. Petani Melon. Lebih tepatnya, pengusaha Melon, karena beliau sebenarnya punya puluhan petani yang menggarap kebun melonnya. Dari 500m², dalam 5 tahun kebunnya menjadi sekitar 5000m².

Dari beberapa baris di atas, sudah jelas beliau ini orang yang tekun dan pantang menyerah, ditambah hemat. Kalau pengusaha boros dan konsumtif, mungkin usahanya pun tidak akan membawa hasil yang mantap seperti Bapak di atas. Tapi ada satu hal menarik lain yang membuatku belajar. Beliau bilang kalau ada sebuah filosofi hidup yang harus selalu dipegang, “Kita jangan menentang alam”.

Tahu kalau alamnya adalah alam tropis, dimulainya berkebun melon. Tentu saja, dengan jatuh bangun, laba rugi, tawa tangis, sedikit demi sedikit ilmu tentang melon pun beliau dapatkan seiring pengalaman.

Ada satu penjelasan yang membuatku pada akhirnya mengaku bodoh pada sebuah Melon. Sampai pada usia tiga bulan dan jumlah daun tertentu (ditambah sudah berbunga), ujung pohon Melon dibuang tunas-tunas mudanya. Tentu saja, hampir mirip tumbuhan lain, hal itu dilakukan demi perkembangan buah yang bagus. Seberapa pun banyaknya bunga yang muncul di satu pohon, harus disisakan hanya DUA bunga saja. Sampai buahnya muncul dari bunga, harus dipilih yag paling bagus dan dimusnahkan satu (yang lain). Jadi hanya akan ada satu buah untuk satu pohon.

Tiba-tiba saja aku benar-benar memikirkan sesuatu, tepatnya.. “dibuang satu untuk memaksimalkan yang lain”. Dan pada akhirnya, si pemilik kebun pun tidak bisa rakus dan berharap satu pohon Melon yang merambat itu akan memberinya buah lebih dari satu. Tidak bisa, bila dia menginginkan melon itu berkembang maksimal. Tentu saja, kalau kita amati benar-benar, hal ini terjadi pada banyak hal. Dalam kehidupan kita : pilihan hidup, memilih kesempatan, bahkan memperjuangkan sebuah hal. Dan tidak bisa dipungkiri, mungkin inilah yang dilakukan pula oleh para pemimpin.

Dalam hidup kita, mungkin akan ada banyak kesempatan yang datang. Bisa jadi, saat mencoba semua itu dengan serius, kita akan merasa kita orang yang berbakat dalam banyak hal, namun bisa juga sebaliknya : ternyata kita hanya berbakat dalam hal tertentu saja. Itulah gunanya mencoba banyak hal. Tapi negatifnya, tentu saja waktu kita lebih banyak terbuang daripada mereka yang sedari awal bertahan fokus pada satu hal saja. Karenanya orang bijak bilang, “Kita tidak mungkin belajar segala hal dengan waktu kita yang terbatas. Maka belajarlah dari orang lain. Terlebih untuk sebuah kesalahan”.

Lalu pikiranku terbang pada korban kelaparan di Somalia. Pemberitaan di harian nasional berikut fotonya sempat membuatku meneteskan air mata saat membacanya. Demi mencari makanan, mereka harus berjalan jauh sekali menuju posko bantuan. Jaraknya harus ditempuh selama lima hari berjalan kaki. Dan bukan hal yang asing lagi, dalam perjalanan itu seorang Ibu terkadang harus “memilih” anaknya. Memilih untuk apa? UNTUK HIDUP. Diberitakan di sana banyak Ibu yang di tengah-tengah perjalanan harus memilih mana anaknya yang akan dia selamatkan. Satu Ibu di sana bisa berjalan kaki dengan membawa 4-5 orang anak yang kesemuanya tentu saja memiliki kondisi fisik yang berbeda. Saat ada yang sekarat di tengah jalan, sang Ibu terpaksa meninggalkannya demi kehidupan anak yang lainnya. Terbayangkan betapa ngerinya keadaan itu? Dan itu terjadi tidak hanya pada satu orang di sana. Tapi beberapa orang, banyak malah.

Tentu saja, aku tidak akan membahas peran pemerintah atau siapapun dalam fenomena di atas. Cukup baca di banyak media, kita akan dapat keterangan panjang dari sana.

Tapi hal yang aku ceritakan di atas membuatku berpikir sekaligus bersyukur. Pengusaha Melon dan Ibu di Somalia sama-sama melakukan sebuah keputusan memilih, walaupun tentu saja ujiannya jauh berbeda. Tapi kita bisa belajar dari sini. Bahwa ternyata sebuah bentuk ujian itu punya kesulitan yang bertingkat. Bapak Melon itu mungkin cukup meredam kemauan ‘rakus’nya demi melon berkualitas yang jauh lebih tinggi harganya di pasaran, sedangkan ibu di Somalia harus meredam ‘sakit’nya kehilangan anak karena terpaksa, demi kelangsungan anaknya yang lain, dan mungkin juga harus susah payah meredam kemarahannya pada Tuhan.
Ada kehidupan yang harus direlakan untuk sebuah kehidupan yang lain. Kehidupan yang mungkin lebih “mungkin”. Tapi bukan main-main, itu atas dasar pengetahuan.

Mana bisa Bapak Melon memilih Melon yang lebih bagus kondisinya kalau beliau tidak tahu cirri-ciri Melon yang bagus? Itu karena beliau belajar. Dan seorang Ibu pun harus bisa membedakan mana anaknya yang sekarat dan lebih sekarat, demi mencari peluang hidup di antara anak-anak terkasihnya. (Astaga! Peluang hidup..? baru nyadar kalo pake kata peluang hidup…aku jauh-jauh berkata “Bangun Indonesia!” tapi di ujung bumi ini masih ada yang untuk hidup saja harus mencari peluang. Semoga kondisinya cepat membaik, amin.)

Hampir saja mengakhiri tulisan, tiba-tiba pikiran ini melayang ke acara akbar Minggu depan bagi masyarakat Yogya. “Pemilukada 2011”. Yah, aku tersadar, program berbeda dari masing-masing calon juga mungkin melalui tahap memilih tadi. Menyelamatkan yang lebih mungkin diselamatkan. Dan pada akhirnya, “yang diselamatkan” tadi akan merujuk pada pengetahuan para calon pemimpin itu. Mau pilih kemiskinan, kebudayaan, kesejahteraan, ketradisionalan, wanita, rakyat kecil, atau apapun itu, mungkin adalah hasil dari proses menimbang “mana yang lebih mungkin diselamatkan” di tengah-tengah pilihan sulit di negeri ini. Satu dibela, yang lain demo. Yang itu dibela, yang ini demo. Tapi yang jelas, semoga dasar pengetahuan yang dirujuk para calon pemimpin itu benar-benar akan dilakukan dan terasa manfaatnya. Sepakat kalau itu =)

Teringat kata seseorang yang baru saja kutemui beberapa hari lagi. “Kalau ga mau milih, seseorang ga berhak mengkritik. Karena sebenarnya dia ga mendukung apa-apa”. (SUMPAH ya, ini bukan kampanye Anti Golput! Hehe,). Sayangnya, KTP-ku bukan KTP Jogja. Aku ga bias milih besok.. walaupun aku ingin sekali memberi kontribusi. Aku berharap akan ada banyak pemuda yang peduli masa depan bangsanya. =)

Akhirnya.., *ngantuk. =)
Tapi semoga kita bisa sama-sama belajar. Meredam Egoisme, bertanggung jawab dengan besar hati segala resiko atas pertimbangan yang matang, lalu bersyukur. Bersyukur karena hidup kita selalu banyak pilihan =) Artinya kita masih dipercaya untuk memilih, memutuskan, dan melakukan hal-hal baik untuk diri kita. Dan terlebih lagi, untuk orang-orang di sekitar kita.

Dan setelah mengaku bodoh pada melon, mungkin besok-besok aku akan mengaku bodoh pada buah yang lain =)
Ada ide..?? ;D

Jogonalan Lor, 3:51 am.
Rabu, 21 September 2011 __Intanian__

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun