Mohon tunggu...
Intania Jihan Faradila
Intania Jihan Faradila Mohon Tunggu... Dokter - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menyuarakan Kekerasan dalam Pacaran di Kalangan Anak Muda

16 Juni 2024   12:50 Diperbarui: 16 Juni 2024   12:56 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kekerasan dalam pacaran adalah bentuk kekerasan yang terjadi dalam hubungan romantis di mana salah satu pihak berusaha untuk mengontrol atau mendominasi pihak lainnya melalui berbagai cara. Kekerasan ini bisa berbentuk fisik, seperti pukulan atau tendangan; emosional, seperti penghinaan dan manipulasi; seksual, berupa paksaan atau pelecehan seksual; serta psikologis, yang mencakup ancaman dan intimidasi. Data terbaru menunjukkan bahwa kekerasan fisik dan seksual yang dialami oleh perempuan belum menikah mencapai angka 42,7%. Angka ini mengkhawatirkan dan menyoroti betapa pentingnya membahas kekerasan dalam pacaran, terutama di kalangan anak muda.
Mengapa isu ini begitu penting? sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, mengakui bahwa penting untuk mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan dalam pacaran di kalangan mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Anak muda adalah kelompok yang rentan, sedang dalam fase perkembangan identitas dan memahami dinamika hubungan interpersonal. Mereka sering kali tidak memiliki pengalaman atau pengetahuan yang cukup untuk mengenali tanda-tanda kekerasan dalam pacaran, apalagi untuk mencari bantuan. Dampak dari kekerasan ini bisa sangat merusak, mempengaruhi kesehatan fisik, mental, dan emosional mereka dalam jangka panjang.
Budaya dan norma sosial memainkan peran besar dalam membentuk persepsi dan sikap terhadap kekerasan dalam pacaran. Di banyak masyarakat, norma patriarkal masih kuat, menempatkan laki-laki dalam posisi dominan dan perempuan dalam posisi subordinat. Sikap ini sering kali mempengaruhi cara anak muda memandang hubungan mereka. Dalam beberapa kasus, perilaku yang sebenarnya merupakan kekerasan mungkin dianggap normal atau bahkan diabaikan karena dianggap sebagai bagian dari dinamika hubungan. Media juga berperan dalam memperkuat atau menantang norma-norma ini. Sayangnya, media sering kali menggambarkan kekerasan sebagai sesuatu yang dramatis dan romantis, bukannya berbahaya dan tidak dapat diterima. Hal tersebut memperkuat persepsi bahwa kekerasan adalah bagian dari cinta, yang bisa membingungkan anak muda tentang apa yang seharusnya mereka terima atau tolak dalam hubungan mereka. Membahas kekerasan dalam pacaran di kalangan anak muda bukan hanya tentang mengungkap realitas yang suram, tetapi juga tentang membangun fondasi bagi generasi yang lebih sadar dan siap untuk menciptakan hubungan yang sehat dan setara.
Penyebab dan Dampak Kekerasan dalam Pacaran
Penyebab kekerasan dalam pacaran bisa sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor. Faktor individu seperti kepribadian atau pengalaman trauma masa lalu dapat memicu perilaku kekerasan. Selain itu, faktor hubungan seperti dinamika kekuasaan antara pasangan atau ketergantungan emosional juga dapat menjadi pemicu kekerasan. Faktor sosial dan budaya seperti norma gender yang patriarkal atau pengaruh teman sebaya juga dapat mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap kekerasan dalam pacaran. Dampak dari kekerasan dalam pacaran tidak dapat dianggap enteng. Selain cedera fisik, dampak psikologis seperti depresi, PTSD, atau kehilangan rasa percaya diri dapat terjadi. Korban juga mungkin mengalami isolasi sosial dari teman dan keluarga, serta penurunan kinerja akademis atau pekerjaan.
Kesulitan Korban Menyuarakan Pengalaman
Ketika berbicara tentang kekerasan dalam hubungan percintaan, seringkali kita tertuju pada narasi korban yang berani dan kuat, yang menolak untuk menjadi "korban" dan berbicara secara terbuka tentang pengalaman mereka. Namun, realitasnya tidak selalu demikian. Terkadang, korban kekerasan dalam pacaran tidak bisa menyuarakan pengalaman mereka dengan mudah, bahkan dalam era gerakan kesadaran dan advokasi yang semakin kuat. Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang kompleks. Mengapa beberapa korban kekerasan dalam hubungan pacaran tidak bisa atau tidak mau menyuarakan pengalaman mereka? Jawabannya bukanlah sesuatu yang sederhana dan tunggal. Melainkan, ada beragam faktor yang saling berinteraksi dan berdampak satu sama lain. Salah satu faktor kunci adalah rasa takut. Korban seringkali hidup dalam ketakutan akan konsekuensi yang lebih buruk jika mereka memutuskan untuk membuka diri. Takut akan balasan lebih keras dari pelaku, takut akan kehilangan keamanan atau dukungan finansial, bahkan takut akan cemoohan atau penolakan dari lingkungan sosial mereka. Rasa takut ini menyulitkan mereka untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk menyuarakan diri.
Selain itu, perasaan malu dan rasa bersalah sering kali menjadi belenggu yang mengikat korban dalam keheningan. Mereka mungkin merasa malu karena merasa bahwa mereka sendirilah yang menyebabkan kekerasan tersebut, atau malu karena merasa bahwa mereka tidak mampu mengatasi masalah tersebut dengan sendirinya. Rasa bersalah juga bisa muncul dari harapan masyarakat atau norma budaya yang menempatkan beban pada korban untuk "memperbaiki" hubungan mereka. Selain itu, ketergantungan emosional pada pelaku juga bisa menjadi penghalang yang signifikan. Korban mungkin merasa bahwa mereka bergantung pada hubungan tersebut untuk dukungan emosional atau finansial, sehingga sulit bagi mereka untuk memutuskan hubungan atau melangkah ke arah yang bisa membuat mereka lebih aman. Dalam sebuah masyarakat yang kadangkala masih menilai korban dan menempatkan stigma pada mereka, ini semua bisa menjadi rintangan yang sangat sulit untuk diatasi. Jadi, sementara kita sering berbicara tentang pentingnya "membuka suara" dan "berani", kita juga harus ingat bahwa setiap individu memiliki perjalanan dan pengalaman yang unik, dan bahwa proses untuk menyuarakan pengalaman kekerasan dalam hubungan pacaran bisa sangat rumit dan penuh tantangan.
Pentingnya Dukungan bagi Korban
Korban perlu merasa aman dan percaya untuk dapat berbicara tentang pengalaman mereka. Hal tersebut bisa dilakukan dengan memberikan dukungan emosional, menunjukkan pengertian, dan menjamin kerahasiaan informasi. Korban perlu diberi informasi tentang hak mereka dan pilihan yang tersedia, termasuk perlindungan hukum dan sumber daya yang dapat membantu mereka keluar dari situasi kekerasan. Tenaga pendidik dan orang tua perlu dilatih untuk mengenali tanda-tanda kekerasan pacaran dan cara mengatasinya. Mereka juga perlu terbuka untuk berbicara tentang topik ini dengan anak-anak mereka. Penting untuk mengubah stigma yang terkait dengan korban kekerasan dalam pacaran, sehingga mereka merasa lebih nyaman untuk mencari bantuan tanpa takut dicap atau dihakimi.
Sumber :
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2018, Waspada Bahaya Kekerasan Dalam Pacaran.
Sari, I. P. (2018). Kekerasan dalam hubungan pacaran di kalangan mahasiswa: Studi refleksi pengalaman perempuan. DIMENSIA: Jurnal Kajian Sosiologi, 7(1).
Tisyara, M. K. A., & Valentina, T. D. Kekerasan Dalam Pacaran yang Dialami oleh Perempuan: Sebuah Kajian Literatur. Psikobuletin: Buletin Ilmiah Psikologi, 5(1), 65-79.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun