Tanggal 22 Desember adalah moment special bagi keluarga. Terutama itu adalah hari yang mengkhususkan untuk memperingati hari ibu. Ya, orang yang teramat special dimata seluruh anak-anak di dunia ini. Apalagi ketika mengingat segala pengorbanan dan jerih payah semenjak kita dalam kandungan sampai pada akhirnya kita menjadi milik orang lain dan bukan lagi menjadi tanggung jawab ayah dan ibu kita.
Oleh karena itu, tepat di moment khusus itu, anak-anak bersibuk ria mempersiapkan segala bentuk hadiah untuk ibu mereka masing-masing. Entah itu berupa ucapan sederhana yang ditulis dengan pensil warna-warni khas anak kecil, dengan masakan sederhana yang disajikan khusu untuk ibu, dengan membeli cake layaknya ulang tahun, ataupun membelikan kado yang dibungkus dengan begitu rapi dan indahnya.
Ya, dihari special itu seorang ibu benar-benar terasa berharga dalam hidup kita yang memang tpantas untuk disebut hebat dan diagung-agungkan. Karena setiap pengorbanan dan penderitaan beliau tak akan pernah terbalaskan oleh materi dalam bentuk apapun.
Namun, sadarkah kita, bahwa orang yang special dalam hidup kita tidak hanya ibu. Karena di samping ibu ada orang hebat yang selalu berdampingan dan saling memberikan kekuatan. Beliau adalah ayah. Ya, sering kali kita melupakan sosok dan peran ayah dalam kehidupan kita. Apalagi ketika kita sudah memasuki tahap kedewasaan, dan masuk dalam jenjang pergurua tinggi, yang sudah pasti kita berada jauh dari orang tua dan mungkin saja tidak ada waktu untuk memikirkan ayah dan ibu kita selagi kita disibukkan dengan tugas-tugas kuliah.
Ingatkah ketika kita dalam sendiri melamun, tiba-tiba saja teringan sosok ibu yang sering kali kita merindukannya. Merindukan masakannya, merindukan cerita-ceritanya. Lalu bagaimana dengan ayah? Kapan kita mengingat dan merindukannya? Merindukan setiap petuah dan wejangannya. Ya, mungkin saja ketika berada diperantauan, seringkali ibu menelpon kita sekedar menanyakan kabar kita. Tapi sadarkah, bahwa ternyata kita tidak mengetahui bahwa ayahlah yang meminta ibu untk menelpon kita menanyakan keadaan, menanyakan kuliah, seharian ini ngapain aja, sudah makan belum, bagaimana dengan kuliah kita dan bla bla bla.
Mari bersama-sama kita flash back ke masa kecil kita. Waktu itu, disaat kita merengek meminta sepeda baru, ibu menuruti permintaan buah hatinya. Tapi tahukah bahwa dibalik itu ayah memikirkan bagaimana memperoleh uang suapaya anaknya senang ketika beliau mampu membelika sepeda baru. Bermacam uapaya dilakukannya agar belau dapat melihat tawa kegembiraan diwajah buah hatinya. Dan ketika sepeda baru itu mampu dibelinya, ayah mengajari kita untuk mengayuh sepeda. Berkali-kali kita terjatuh dan sesekali menangis menahan sakit. Dari kejauhan ibu berteriak supaya latihan sepeda dilanjutkan dilain hari sampai luka di kaki kita kembali pulih. Akan tetapi, ayah tetap melanjutkan latihan itu meskipun anaknya harus kembali terjatuh karena ayah tahu bahwa kita bisa, kita mampu untuk menaklukan sepeda itu. Sampai pada akhirnya kita bisa mengayuhnya. Berkali-kali berteriak dengan girangnya karena dapat mengayuh sepeda dengan cukup lancar,. Dari kejauhan ayah melihat bangga karena semangat dan usaha buah hatinya memberikan hasil.
Kala pertamakalinya kita bersekolah, ibu sangat sibuk mencatat dan mempersiapkan segala keperluan sekolah kita. Sadarkah, bahwa ayah merelakan waktunya untuk mencari kerja sampingan supaya dapat membuayai sekolah anaknya yang mahal dan membelikan segala keperluan sekolah anaknya. Tas baru, sepatu baru, buku-buku cerita adalah hal yang saat itu benar-benar kita lirik. Ayah merelakan jam tidurnya untuk lembur suapaya ada tambahan pemasukan sehingga bisa membelikan apa yg diinginkan anaknya. Lagi-lagi hal itu dilakukannya agar beliau melihat senyuman dari anaknya.
Dan ketika kita memasuki usia remaja, begitu ketatnya ayah memberikan peraturan kepada kita. Pulang sekolah harus tepat waktu, jam belajar juga ditambah, belum lagi tidak boleh hang out layaknya anak-anak seusianya. Hal ini benar-benar membuat kita marah dan kesal. Lebih-lebih kalau di ruma berpapasan dengan ayah, betenya setengah mati. Yang dirasakan ayah saat itu behar-behar sedih melihat anaknya menyimpan kekesalan pada dirinya. Tapi sadarkah bahwa ayah melakukan itu karena ayah tidak ingin hal-hal buruk terjadi kepada permata hatinya.
Dikala kita sudah cukup bisa untuk menjaga diri, ayah memberikan kelonggaran waktu kepada anaknya supaya dapat menikmati dunia anak muda layaknya teman-temannya. Namun ternyata kepercayaan yang diberikan ayah lepas dari genggaman. Kita tidak tahu waktu ketika ayah memberika kesempatan kepada kita. Hingga larut malam ayah menunggu kepulangan kita dengan pancaran amarah diwajahnya. Pukul 12 pintupun terbuka. Dan ketika lampu dinyalakan tampak jelas kemarahan ayah. Kita hanya menangis dan berkata bahwa “ayah tidak adil!!! Ibu saja tak pernah marah! Kenapa ayah selalu memarahiku??!”. Hati ayah bergejolak. Memang benar ayah memperlakukan berbeda dengan ibu, ayah merasa bersalah. Namun lagi-lagi ayah tidak mau hal yang sangat berharga dalam hidupnya itu hilang begitu saja. Ayah benar-benar mengkhawatirkan itu.
Dan setelah kita lulus SMA, ayah sedikit memaksa kehendaknya supaya dita bisa diterima di perguruan tinggi yang menjadi impian kita selama ini. Toh ayah juga memberi kebebasan kita memilih meskipun ayah meminta untuk menambah jam belajar. Sudah jelas kita sangat kesal denga hal-ha yang selalu dipaksakan. Tapi tahukah, bahwa itu dilakukannya supaya anak yang dibanggakannya kelak menjadi orang yang sukses dengan pilihannya sendiri. Dan benar adanya, ketika kita diterima di perguruan tinggi pilihan kita, ayah adalah orang pertama yang memberikan ucapan selamat dengan pelukan hangat dan kecupan manis darinya.
Hingga waktunya tiba, ayah dan ibu harus mengantarkan anaknya ke stasiun/bandara/terminal. Ini adalah hari pertama kita hidup tak serumah dengan ayah dan ibu. Berjuang di kota yang jauh demi ilmu. Ibu memeluk kita dengan tersedu-sedu dan berkali-kali menciumi kita. Sadar tidak?dibelakang ibu terlihat wajah ayah yang mulai membeku menatap istrinya menangis memeluk kita. Dibalik diamnya, dengan sekuat tenaga ayah menahan tangis dan kesedihannya suapay tangis anaknya tak semakin pecah. Yang dilakukan ayah hanya menepuk pundak kita dan berkata, “Anak ayah hebat! Jaga dirimu baik-baik!”. Kalimat itu bergetar meski wajahnya terlihat tegar.
3,5 tahun kemudian, kita lulus dengan cumlaude. Begitu bangganya ayah dan ibu kita melihat berlian yang selama ini dirawatnya memancarkan sinar keindahan. Dan detik-detik kita diwisuda, ayah adalah orang pertama yang berdiri dan memberikan applouse untuk kita.
Sampai pada akhirnya…ayah melihat kita duduk dipelaminan dengan pasangan yang menjadi pilihan kita. Ayah sendiri yang mengijab qobulkan pernikahan kita. Dan ketika saksi mengatakan “sah”, saat itulah ayah meneteskan air matanya. Air mata bahagia. Ya tugas ayah sebagai bapak sebagai papa sebagai ayah kita sudah selesai. Kini kita bukan lagi milik ayah dan ibu, kita sudah menjadi milik pasangan kita. Dan ayah sudah sangat BERHASIL menjadi sosok ayah. Menjadi teladan, menjadi panutan, menjadi segalanya. Beribu terimakasih yang tercurahkan melalui air mata kepada ayah dan ibu tak akan pernah bisa membalas segala bentuk pengorbanan dan penderitaanya. Terimakasih mama, terimakasih papa, kami sangat menyayangi kalian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H