Pelarangan terhadap cannabis sativa atau ganja pertama kali diatur dalam Marijuana Tax Act di Amerika Serikat pada 1937. Kebijakan melarang ganja tsb meluas ke berbagai negara setelah lahirnya Konvensi Tunggal Narkotika PBB pada 1961. Indonesia termasuk negara yang turut meratifikasi konvensi tersebut dan menyatakan ganja sebagai barang ilegal.
Kebijakan pelarangan penggunaan ganja oleh sebagian besar negara di dunia bukan tanpa alasan. Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa ganja mengandung zat tetrahidrokanabinol (THC) yang membuat pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab). Efek bahaya jangka panjang juga bisa timbul akibat konsumsi ganja terus menerus dengan dosis yang serampangan.
Sayangnya, kebijakan tersebut ternyata tidak selalu efektif untuk menekan konsumsi ganja. Kanada, misalnya, tercatat sebagai negara dengan penggunaan ganja tertinggi di dunia, meskipun sampai saat ini ganja masih ilegal di sana.
Itulah mengapa beberapa negara seperti Belanda, Jerman, Argentina, Colombia, Peru, Amerika Serikat (Colorado dan Washington DC) justru memilih untuk melegalkan ganja. Kanada dikabarkan segera menyusul negara-negara tsb, karena menganggap kebijakan melarang ganja ternyata tak mampu menghentikan atau sekedar menekan konsumsinya.
Perlu dicatat, bahwa legalisasi ganja tidak berarti ganja dapat dikonsumsi oleh siapa saja, di mana saja dan dengan jumlah berapa saja. Ganja dinyatakan legal (boleh dikonsumsi atau ditanam) hanya di tempat-tempat tertentu dan dalam jumlah tertentu. Ada alasan lain, misalnya di Colorado dan Washington DC, kebijakan melegalkan ganja dimanfaatkan untuk menarik kunjungan wisatawan.
Meski terlihat sangat berbeda, namun hasil analisis menunjukkan bahwa kedua jenis kebijakan (ilegalisasi dan legalisasi) tsb ternyata pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu membatasi penggunaan ganja di masyarakat. Diperlukan evaluasi mendalam untuk menarik kesimpulan kebijakan mana yang lebih efektif untuk menekan konsumsi ganja serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
Policy Brief of AKADEMIKA - Centre for Public Policy Analysis
By Fininda Soleha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H