Sebuah pengabdian tanpa pamrih. Tak menuntut balasan hanya ketulusan dari hati. Itulah atmosfer yang terasa ketika menginjakkan kaki di Komunitas Tanoker Kecamatan Ledokombo, Jember. Beruntung sekali karena aku dan suami bisa bertemu dan saling sapa dengan Dr. Ir. Suporahardjo, M.Si atau lebih dikenal dengan panggilan Lék Hang. Lék Hang dan istrinya, Ibu Ciciek adalah penggagas dari Komunitas Tanoker ini.
Sebenarnya kami ingin mengobrol banyak dengan beliau, tapi saat itu beliau sedang ditunggu oleh tamu dari Amerika untuk melihat panen. Beliau pun mempersilakan kami untuk bertemu dengan para mentor pendamping. Kami pun diajak untuk melihat aktivitas anak-anak yang sedang mengikuti kegiatan minggu ceria. Kegiatan ini diisi dengan materi internet sehat dan dipandu oleh beberapa mahasiswa dari Universitas Jember.
Terlihat anak-anak begitu antusias mengikuti pembelajaran yang diberikan oleh kakak-kakak mahasiswa. Sekitar pukul 10an, anak-anak diberikan waktu istirahat. Mereka pun langsung berhambur ke bagian belakang bangunan. Di tengah alam terbuka mereka asyik bermain egrang dan sepeda tua.
Egrang, merupakan ciri khas dari Komunitas Tanoker ini. Ada filosofi yang luar biasa dari permainan egrang. Sebuah keseimbangan. Ya, seperti layaknya kita bermain egrang, dibutuhkan keseimbangan agar bisa berjalan bahkan berlari. Begitu pun kehidupan, membutuhkan keseimbangan agar kita bisa menjalani kehidupan ini dengan baik.
Kecamatan Ledokombo merupakan salah satu kecamatan yang masih harus dibina di Kabupaten Jember. Banyak sekali masalah sosial yang terjadi, mulai dari angka pernikahan usia muda yang tinggi, jumlah buruh migran yang luar biasa dan juga banyaknya angka putus sekolah. Semuanya itu menjadi masalah yang pelik bagi kecamatan ini.
Lék Hang dan istrinya hadir untuk memberikan warna baru di kehidupan masyarakat Ledokombo. Mereka memfasilitasi para wanita dan anak-anak untuk keluar dari lingkaran setan tersebut. Para ibu mantan buruh migran dibina dan diajarkan keterampilan. Mereka diajak untuk menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif. Selain itu, anak-anaknya pun diarahkan untuk mencintai ilmu pengetahuan. Ada program pendampingan yang diberikan oleh para mentor dan dibantu juga oleh para mahasiswa.
Seperti namanya Tanoker, yang dalam Bahasa Madura berarti kepompong. Komunitas ini berusaha untuk terus belajar dan berjuang. Ada keinginan yang besar dalam benak mereka. Suatu saat mereka akan berubah menjadi ‘kupu-kupu’ cantik yang bisa memberikan keindahan dan cerita indah bagi sekitarnya.
Lék Hang dan Ibu Ciciek bagaikan malaikat tak bersayap bagi warga Ledokombo. Atas dasar rasa cinta akan tanah kelahiran, mereka terus berusaha membangun daerahnya. Bukan dengan ceramah, nasihat atau bahkan hinaan. Mereka juga tidak mencari harta, ketenaran dan juga pujian. Mereka berdua telah menyediakan telaga bagi pribadi-pribadi dan dahaga. Mereka menggantikan hujan dengan indahnya pelangi. Dan, rasanya negeri ini butuh banyak sosok seperti Lék Hang dan Ibu Ciciek. Sosok yang menjadi solusi bagi negeri bukan sekedar mencaci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H