Mohon tunggu...
Intan Camelia Putri
Intan Camelia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Public Policy Student at Bakrie University

I am a creative, hardworking and enthusiastic person. I love writing and reading books.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kekerasan Simbolik dalam Kebijakan Tapera: Bagaimana Kebijakan Perumahan Membebani Kelompok Rentan

1 November 2024   19:09 Diperbarui: 1 November 2024   19:21 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang  diluncurkan oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan memberikan akses perumahan yang layak bagi masyarakat, khususnya kelompok pekerja yang selama ini sulit memiliki hunian sendiri. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomer 25 Tahun 2020, Tapera merupakan suatu kebijakan berbentuk tabungan yang dilaksanakan oleh Peserta Tapera dengan berkala dalam kurun waktu tertentu dan hanya berfungsi sebagai pendaanaan perumahan atau diretur saat hasil tabungan sehabis masa peserta berakhir (Indra Pangestu, 2024). Kebijakan Tapera diluncurkan oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan memberikan akses perumahan yang layak bagi masyarakat, khususnya kelompok pekerja yang selama ini sulit memiliki hunian sendiri. Kebijakan yang telah di atur melalui Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2024 tersebut mengharuskan para pekerja menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Dengan konsekuensi pekerja yang memliki penghasilan di atas UMR akan diminta iuran sebesar 3% dari penghasilan (BBC Indonesia, 2024).

Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mendukung hak dasar masyarakat terhadap kepemilikan tempat tinggal. Namun, dalam pelaksanaannya, kebijakan Tapera menghadirkan tantangan, terutama bagi kelompok rentan, yang tidak jarang terjebak dalam kekerasan simbolik. Kekerasan Simbolik adalah istilah yang dikemukakan oleh sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, yang merujuk pada bentuk kekerasan yang tidak tampak secara fisik, namun terjadi melalui penanaman norma, aturan, atau kewajiban sosial yang diterima begitu saja oleh masyarakat. Bordieu merujuk modal simbolik (contoh: kedudukan, status, prestise) sebagai sumber kekuasaan yang krusial. Modal Simbolik merupakan setiap jenis modal yang ditanamkan secara sosial berdasarkan skema klasifikasi. Ketika pemilik modal simbolik (negara) menggunakan kekuatan mereka, negara berhadapan dengan agen yang lebih lemah, yang kemudian agen tersebut berusaha mengubah tindakannya (Bourdieu, 1993). Hal tersebut lalu bertransformasi menjadi kekerasan simbolik. Kekerasan ini dapat  terwujud dalam kebijakan atau program yang dianggap normal atau sah oleh masyarakat, meskipun sebetulnya membebani atau merugikan kelompok tertentu.

Negara sering kali menetapkan kebijakan ekonomi yang secara tidak langsung menekan kelompok masyarakat tertentu, contohnya seperti kebijakan Tapera ini. Meski kebijakan ini tampak netral dan sah secara hukum, Negara sering kali lebih memberatkan kelompok rentan, yang akhirnya menerima keadaan ini sebagai sesuatu yang normal. Padahal, kebijakan ini secara simbolis menguatkan ketidaksetaraan dan memberikan tekanan ekonomi bagi mereka.

Merujuk kepada kebijakan Tapera, kekerasan simbolik muncul ketika kebijakan tersebut mengharuskan kelompok rentan, seperti pekerja berpenghasilan rendah atau pekerja informal, untuk berkontribusi pada skema tabungan perumahan yang mungkin tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan atau kapasitas finansial mereka (Margaretha, 2024). Di sinilah kebijakan tersebut mulai memberatkan mereka yang seharusnya dilindungi oleh sistem sosial. Skema Tapera didesain dalam bentuk tabungan wajib, di mana pekerja menyisihkan sebagian kecil dari gajinya setiap bulan. Harapannya, tabungan ini akan menjadi solusi jangka panjang bagi mereka untuk memiliki hunian. Meskipun tujuannya baik, mekanisme Tapera menuai kritik dan polemik karena dinilai kurang memperhatikan kebutuhan riil dan kapasitas keuangan pekerja berpenghasilan rendah. Ketika kelompok pekerja rentan diwajibkan untuk ikut serta, hal ini bisa mengakibatkan tekanan finansial tambahan pada kelompok tersebut, yang sejatinya mungkin sudah berjuang memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Dalam kebijakan Tapera, pekerja diwajibkan untuk menyisihkan sebagian kecil dari penghasilan mereka untuk ditabung, yang kemudian akan digunakan sebagai modal awal untuk mendapatkan kredit perumahan. Bagi kelompok pekerja berpenghasilan tinggi, kewajiban ini mungkin tidak terasa berat. Namun, bagi pekerja dengan upah rendah, persentase tersebut bisa menjadi beban tambahan yang mengganggu alokasi finansial mereka untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, pendidikan, atau kesehatan.

Salah satu persoalan lain adalah mekanisme distribusi manfaat yang mungkin tidak merata. Kelompok pekerja informal atau berpenghasilan rendah berpotensi sulit memenuhi syarat tertentu yang diperlukan untuk memanfaatkan dana Tapera, karena adanya persyaratan administratif atau kriteria yang berat. Hal ini menimbulkan kekerasan simbolik, di mana kelompok rentan berkontribusi pada skema yang manfaatnya justru tidak dapat mereka nikmati secara maksimal. Terdapat kekhawatiran mengenai kompleksitas birokrasi dan kurangnya sosialisasi mengenai  hak  dan  kewajiban  peserta  Tapera  yang dapat mengakibatkan  penghambatan partisipasi   masyarakat   dalam   program   ini.  Hal ini berpotensi munculnya ketidakmerataan mengenai manfaat  yang  diraih dari Tapera, dimana seharusnya kebijakan ini memberikan solusi guna menyamakan akses terhadap perumahan.

Pengamat perumahan menilai bahwa kebijakan Tapera tidak rasional untuk memfasilitasi permukiman warga yang terjangkau. Merujuk kepada besarnya potongan yang diharuskan pemerintah berjumlah 2,5% sampai 3% yang tergolong kecil, maka tidak mungkin bisa membeli rumah yang terjangkau dengan kualitas harga pasaran. Selain itu, pemerintah hanya menunjukkan skema pendanaan rumah tetapi tidak melaksanakan intervensi mengenai hal-hal tentang penguasaan tanah, harga, serta pengembangan kawasan baru (BBC Indonesia, 2024). Kekerasan simbolik juga hadir dalam bentuk kebijakan yang cenderung kaku. Tidak adanya fleksibilitas dalam skema Tapera membuat pekerja rentan terpaksa berkontribusi meskipun mereka sedang dalam kondisi keuangan yang sulit. Pada akhirnya, tabungan tersebut berpotensi tidak efektif karena pekerja dipaksa berpartisipasi dalam skema yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan mereka.

Dampak kebijakan Tapera yang berpotensi menghadirkan kekerasan simbolik bagi kelompok rentan tidak hanya terbatas pada tekanan finansial. Kebijakan ini juga dapat menimbulkan berbagai efek psikologis dan sosial lainnya seperti penurunan kepercayaan pada sistem, ketika masyarakat merasa bahwa kebijakan yang seharusnya membantu mereka justru menambah beban, kepercayaan mereka terhadap sistem sosial dan kebijakan pemerintah dapat menurun. Ini bisa berdampak pada pandangan masyarakat terhadap program pemerintah lain, bahkan ketika kebijakan tersebut sebenarnya membawa manfaat (Ariningdyah et al., 2024). Menurut Pengamat Perumahan, kebijakan Tapera seharusnya dibatalkan saja karena niat dari kebijakan ini adalah mengambil uang rakyat, salah satunya dari rakyat yang rentan tetapi bukan hanya rakyat yang rentan saja, kebijakan ini juga berpotensi rentan dikorupsi seperti kasus program jaminan sosial lainnya yang berada di Asabri, Jiwasraya, serta Taspen (BBC Indonesia, 2024).

Kebijakan Tapera pada dasarnya bertujuan baik untuk memperluas akses kepemilikan rumah bagi masyarakat Indonesia. Namun, penting bagi pemerintah untuk memahami bahwa kebijakan tersebut dapat memunculkan kekerasan simbolik bagi kelompok rentan jika diterapkan tanpa memperhatikan kemampuan dan kondisi finansial mereka. Implementasi yang tidak benar berpotensi menimbulkan akibat, seperti beban finansial masyarakat yang meningkat serta ketidakmerataan dalam penyaluran manfaat. Diperlukan perbaikan yang menyeluruh, yang mencakup penyederhanaan birokrasi, peningkatan sosialisasi, dan peninjauan terus menerus dampak kebijakan ini terhadap masyarakat sasaran. Dengan cara ini, kebijakan Tapera dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu meningkatkan akses perumahan yang lebih adil dan berkelanjutan untuk semua lapisan masyarakat Indonesia.

REFERENSI:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun