Mohon tunggu...
Intan Dihni Arsika
Intan Dihni Arsika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya memiliki topik konten favorit di bidang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perlukah Metaverse dalam Pendidikan di Indonesia?

6 November 2022   12:42 Diperbarui: 6 November 2022   12:59 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hari ini kita hidup di zaman di mana teknologi berkembang pesat. Perkembangan ini biasanya disebut sebagai transformasi teknologi digital. Istilah ini mengacu pada berbagai aspek, termasuk teknologi dalam berbisnis, industri, pemerintahan, hingga UMKM. Selain itu, Istilah transformasi teknologi digital juga bisa diartikan sebagai proses penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang membawa perubahan pada aktivitas bermasyarakat, dunia usaha, maupun pemerintah dalam melakukan proses bisnis, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dengan lebih cepat, mudah, dan praktis. Salah satu contoh dari transformasi teknologi digital yang sedang diperbincangkan akhir-akhir ini adalah Metaverse. Istilah ini tengah ramai diperbincangkan akibat klaim Mark Zuckerberg yang menyebut metaverse sebagai dunia masa depan. Bahkan ia mengganti nama Facebook menjadi Meta pada tahun 2021. Sebagai pendiri, ia mencoba membawa visi yang lebih kuat untuk memenuhi kebutuhan sosial lewat teknologi barunya.

Secara Etimologi, metaverse berasal dari kata "meta" yang artinya melampaui dan "verse" berarti alam semesta. Sehingga jika disatukan metaverse memiliki arti melampaui alam semesta.

Metaverse mengacu pada platform digital terintegrasi saat ini dan masa depan yang berfokus pada Virtual Reality (VR), Mixed Reality dan Augmented Reality (AR). Metaverse digambarkan sebagai teknologi yang memungkin orang berkumpul dan berkomunikasi dengan masuk ke dunia virtual. Di metaverse atau dunia virtual, setiap orang akan memiliki koneksi dengan orang lain, bahkan NPC otonom dan hologram. Lewat dunia virtual ini, pengguna bisa melakukan aktivitas seperti bekerja, bersekolah, bersosialisasi, belanja, bermain, konser, hingga mengunjungi tempat-tempat bersejarah tanpa harus bepergian secara fisik.

Sebenarnya konsep metaverse sudah cukup lama diterapkan di salah satu teknologi yang bernama Second Life. Second Life ini menawarkan konsep virtual community yang dibuat dengan maksud menghubungkan orang tanpa harus bertemu secara langsung. Di dunia pendidikan, Stanford, MIT, Monash juga membuat virtual campus dengan menggunakan second life.

Namun pertanyaannya, perlukah metaverse dalam pendidikan?

Sebelum itu, kita harus tahu tujuan dari pendidikan terlebih dahulu. Di dalam UU. No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 disebutkan tentang tujuan pendidikan yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis juga bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka peran guru sebagai pendidik sangat diperlukan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Lalu, apakah dengan menggunakan metaverse tujuan dari pendidikan tersebut dapat tercapai?

Metaverse membutuhkan koneksi internet yang baik dan membutuhkan perangkat pendukung seperti VR dan AR. Jika terdapat seorang siswa yang tidak memiliki koneksi internet yang baik di tempat tinggalnya dan beberapa siswa lain yang mungkin tidak memiliki cukup biaya untuk membeli perangkat pendukung tersebut serta sekolah tidak memfasilitasinya, maka jelas ini akan menghambat pembelajaran sehingga tujuan pendidikan pun tidak tercapai.

Seperti yang kita ketahui, peran guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi guru memiliki peran sebagai pendidik. Pendidik di sini berarti guru membimbing dan mengarahkan siswa agar menjadi pribadi yang baik, yang bermoral dan beretika serta memahami nilai-nilai sosial dan agama. Untuk menjadikan siswa sebagai pribadi yang baik, maka guru harus memperhatikan dan mengajarkan para siswa tentang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dengan penggunaan metaverse, maka guru akan kesulitan membimbing dan mengarahkan siswa, karena adanya keterbatasan interaksi.

Hal ini berbeda jika metaverse hanya digunakan di saat tertentu dan dengan pengawasan guru di dalam kegiatan tersebut. Metaverse bisa digunakan sebagai media pembelajaran yang menyenangkan. Metaverse bisa saja sangat diperlukan untuk beberapa hal seperti saat guru ingin menunjukkan proses pencernaan makanan di dalam tubuh. Di sana guru bisa memperlihatkan bagaimana makanan yang kita makan dari mulut bisa sampai ke usus besar dan bagaimana proses penghancuran makanan tersebut di setiap organ tubuh. Untuk melihat proses ini secara langsung jelas sangat sulit, oleh karena itu, metaverse ini sangat diperlukan untuk pembelajaran tersebut.

Namun, mengingat banyaknya dampak negatif dari teknologi, maka guru harus terus membimbing para siswa agar terhindar dari dampak negatif tersebut. Teknologi metaverse ini sangat berpotensi memunculkan rasa kecanduan secara berlebihan. Hal ini karena tampilan visual yang pada metaverse memang sedikit berbeda dan tampak seperti dunia nyata bahkan lebih bagus. Oleh karena itu, anak akan lebih mudah kecanduan dan melupakan dunia nyata. Hal ini tentu memberi dampak negatif kepada aktivitas harian anak di dunia nyata. Lalu yang kedua, anak bisa saja mengalami masalah kesehatan, terutama pada mata. Ini karena metaverse berhubungan dengan VR yang memungkinkan pemasangan alat di bagian kepala, bahkan hingga menutup sebagian wajah dan mata. Jika penggunaannya dilakukan secara terus-menerus tentu ini akan membuat penglihatan menjadi terganggu. Selain itu, kita juga tidak dapat mengawasi dunia nyata yang ada di sekeliling sehingga dapat membahayakan diri saat menjelaja dunia virtual. Dengan kemudahan yang diberikan metaverse, tubuh jadi kurang bergerak karena orang-orang lebih memilih untuk berjalan maupun bertemu secara virtual melalui teknologi ini. Bahkan bisa saja orang yang terlalu sering menghabiskan waktu secara virtual akan merasakan keanehan saat berada di dunia nyata atau merasa asing. Keanehan ini bisa terjadi karena metaverse adalah teknologi imersif yang mengaburkan dunia nyata dan dunia digital. Dampak negatif yang terakhir pada penerapan teknologi metaverse ada di ranah sosial. Di mana, kamu akan merasa acuh terhadap sekeliling. Hal ini sudah dapat dilihat dari orang yang kecanduan bermedia sosial, maka hal ini juga dapat terjadi di metaverse. Setiap orang bisa saja kehilangan minat mereka dalam berinteraksi kepada sesamanya di dunia nyata. Dengan begitu, setiap orang akan merasa apatis saat bersosialisasi di dunia nyata. Dampak negatif dari metaverse ini lah yang seharusnya menjadi motivasi bagi guru untuk terus membimbing dan mengawasi siswanya dalam penggunaan teknologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun