Salah satu alternatif alat transportasi saya ke kantor adalah taksi. Tidak seperti kakak  laki-laki saya yang suka duduk di samping sopir, saya lebih memilih duduk di kursi belakang. Tidak hanya demi faktor keamanan, namun saya merasa lebih nyaman duduk di kursi belakang karena lebih kecil kemungkinan untuk bercakap-cakap dengan sopir taksi. Saya memang tidak terlalu nyaman mengobrol dengan orang asing, apalagi bila hanya berdua saja di dalam mobil taksi.
Suatu pagi, saya harus mengurus paspor ke Kantor Imigrasi yang berada di Kemayoran. Saya berangkat dari kantor saya di daerah SCBD dengan menaiki taksi berlogo burung biru. Seperti biasa saya duduk di kursi belakang dan langsung memainkan gadget setelah menyampaikan tujuan.Â
Sopir taksi saya hari itu terbilang masih muda dengan penampilan yang rapi dan bersih. Sepanjang perjalanan kami menuju Kantor Imigrasi relatif sunyi senyap. Hanya beberapa pertanyaan yang terlontar dari sopir taksi, seperti apakah saya sudah cukup nyaman dengan suhu mobil dan titik lokasi Kantor Imigrasi Kemayoran, yang saya jawab dengan pendek dan ringkas.
Saat tiba, saya melihat tidak terdapat taksi yang mangkal di sekitar Kantor Imigrasi. Rupanya hal itu juga disadari oleh sopir taksi tersebut. Dia kemudian bertanya kira-kira berapa lama saya berada di Kantor Imigrasi dan apakah saya berencana kembali ke kantor. Setelah mendengar jawaban saya, ia menawarkan untuk menunggu saya untuk mengantarkan saya kembali ke kantor. Akhirnya kami sepakat bahwa ia akan menunggu saya dan selama menunggu ia akan mematikan argo.
Keperluan saya di Kantor Imigrasi berjalan dengan relatif lancar dan tidak membutuhkan waktu lama karena masih pagi. Sekitar 30 menit kemudian saya sudah kembali duduk di kursi belakang taksi tersebut. Dalam perjalanan pulang ternyata jalanan relatif lebih padat dibandingkan saat kami berangkat. Di beberapa titik, mobil kami berjalan sangat  pelan. Mungkin untuk menghilangkan kebosanan, sopir taksi tersebut kemudian mengajak saya bicara.
Ia bercerita tentang banyak hal. Ia telah menjadi sopir taksi lebih dari 5 tahun. Ia menceritakan tentang jadwal shift kerja, mekanisme pembagian pendapatan dari perusahaan taksi, alasan ia lebih memilih shift malam dibandingkan siang, persaingan dengan taksi online, dan suka duka menjadi sopir taksi. Beberapa cerita itu masih teringat oleh saya hingga sekarang.
Suatu ketika, seorang pemuda necis menghentikan taksinya kurang dari 100 meter dari sebuah mall terkenal di Jakarta. Penumpang tersebut meminta untuk diantar ke lobby mall tersebut.Â
Saat tiba di lobby mall, penumpang tersebut meminta untuk berjalan perlahan sebelum kemudian menyuruhnya untuk berputar sekali lagi. Ia lantas mengemudikan taksinya memutari mall dan tiba kembali di lobby mall namun penumpang itu memintanya untuk berputar sekali lagi. Sopir taksi ini mengira penumpang tersebut akan menjemput seseorang di lobby mall yang tak kunjung muncul.
Pada putaran yang ke-2, tampak seorang gadis muda berdiri di depan lobby. Penumpang itu kemudian menghentikan taksi. Sopir taksi mengira gadis muda itu akan naik ke dalam mobil. Ternyata dugaan itu salah. Penumpang tersebut keluar dari mobil kemudian memberikan uang sebesar Rp 100 ribu kepada sopir dari luar mobil tanpa meminta kembalian, padahal ongkos taksi tak sampai Rp 10 ribu. Pemuda itu kemudian berjalan memasuki mall dengan menggandeng tangan gadis muda tersebut. Sopir taksi itu sempat terpana.
Saya berkomentar, "Wah, jangan-jangan untuk pencitraan ke gadis muda itu ya Mas ?"
Sopir taksi itu hanya tertawa. Ia lantas bercerita kembali bahwa ia pernah memperoleh penumpang seorang wanita muda yang membawa koper di depan halte bus transjakarta. Ternyata alamat tujuan tidak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan yang hanya sekitar 10 menit tersebut, wanita muda itu bercerita bahwa ia baru saja pulang usai liburan ke pulau Dewata. Tidak lama kemudian, sampailah mereka di rumah wanita tersebut. Saat sopir taksi itu membantu menurunkan koper dari bagasi, seorang wanita lain keluar dari rumah itu.