Apakah anda pernah menemukan perumahan dengan konsep syariah ? Mereka menerapkan hunian untuk agama tertentu untuk rumah yang akan mereka tempati atau beli. Â Sang pengembang akan menolak jika sang pembeli beragama lain.
Biasanya perumahan itu ada di kawasan tertentu. Singkatnya : eksklusif. Berada di cluster tertentu dan biasanya dihuni oleh kalangan menengah ke atas.
Ada yang salah dengan itu? Tidak ada namun, kurang tepat. Kita berada di negara dengan keberagaman yang sangat kompleks. Kita terbentuk sebagai negara juga dengan keberagaman ini. Keberagaman yang kita punya, mampu diartikulasikan menjadi beberapa sikap oleh para pembentuk negara dan kemudian menghasilkan konsensus yang progressif dalam hal ini terbentuknya Indoensia.
Keberadaan keberagaman ini seharusnya tidak dilenyapkan atas nama mayoritas dan minoritas. Memang Islam berkembang jauh lebih cepat dibanding agama lain. Saat ini Islam dipeluk oleh sekitar 85% penduduk. Namun tidak harus mengesampingkan 15 % lainnya yang memeluk Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu bahkan Kong Hu Chu, dan beberapa puluh aliran kepercayaan. Ketika Mahapahit mengalami masa emas di Nusantara, agama Hindu Budhalah yang dominan.
Namun fenomena yang terjadi kini adalah ada kecenderungan untuk  menyatukan identitas seperti konsep perumahan di atas. Keinginan penyatuan identitas ini sudah menyasar beberapa bidang penting semisal pendidikan. Hal ini berpengaruh buruk, karena menghasilkan pengajaran-pengajaran yang bersifat intoleransi.
Kita tidak bisa menutup mata pada banyaknya pemberitaan yang menayangkan soal-soal ujian sekolah dasar yang bersifat diskriminasi. Beberapa materi ternyata disusupkan ke materi ajar, sehingga murid terpapar intoleransi secara formal dan konsisten.
Inilah yang harus kita waspadai bersama. Obsesi penyatuan indentitas biasanya  diinisiasi oleh kelompok radikal terorisme trans-nasional. Saat orde baru mereka bergerak di bawah tanah. Namun saat reformasi dan keterbukaan informasi dan hak lain, mereka tak malu-malu untuk memperlihatkan diri jati dirinya. Umumnya mereka menyasar mahasiswa tingkat dasar melalui ekstra kulikuler. Juga ekstra kulikuler di sekolah-sekolah menengah dan dasar. Ambisi ini lahir dari rasa tidak nyaman melihat identitas yang berbeda di sekitarnya. Anti-perbedaan ini dikhawatirkan akan meracuni wacana publik jika tidak diantisipasi. Marilah kita mewaspadainya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H